Sukses

Awas, Pemilu 2024 Bisa Bikin Ekonomi Indonesia Melorot

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dinilai justru membuat petumbuhan ekonomi melambat.

Liputan6.com, Jakarta Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menilai momentum pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 2024 justru membuat petumbuhan ekonomi melambat. Meskipun ada pemilihan presiden untuk pengganti Joko Widodo (Jokowi).

Asmoro menerangkan, saat kegiatan pemilu maupun pilpres berlangsung umumnya investor akan memilih menunggu dan melihat (wait and see) untuk menanti sosok presiden baru. Sehingga, akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. 

"Di tahun politik pertumbuhan ekonominya cenderung agak slow down, yang bikim turun itu adalah investasi," ujar Asmo dalam Media Gathering di Labuan Bajo, NTT, Senin (11/9).

Asmo menyebut, kondisi ini juga lumrah terjadi di sejumlah negara. Bahkan, sekelas negara ekonomi maju seperti Amerika Serikat (AS) hingga China. 

"Pas Pilpres Trade War Presiden Donald Trump China dan US, harga komoditas turun makanya, 2019 turun juga pertumbuhan ekonominya," ungkapnya. 

Oleh karena itu, Asmo berharap pemerintah memiliki formulasi khusus untuk meyakinkan investor agar tetap menanamkan modal di Indonesia. Ini tujuannya mendorong pertumbuhan ekonomi agar lebih tinggi di tahun politik. 

"Memang tantangannya adalah bagaimana membuat investasi itu tetap bisa tumbuh, tidak turun tajam seperti pola pola yang kita temui di tahun pemilu pemilu sebelumnya.

Kalau konsumsi rata-rata relatif masih terjaga stabil di 5 persen. Yang bikin turun itu adalah investasi," pungkasnya. 

Menteri Bahlil Harap Suhu Politik Tak Semakin Panas

Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meminta tensi atau suhu politik kali ini tidak terlalu panas demi menjaga arus investasi di Indonesia. Pasalnya, 2023 hingga 2024 ini menjadi tahun politik yang kerap menaikkan tensi.

Bahlil memandang, dengan kenaikan tensi politik, itu akan berpengaruh pada pergerakan arus investasi ke Tanah Air. Jika suhu politik ini bisa dijaga, dia meyakini tak akan mengganggu perilaku investor dan calon investor. 

"Sekalipun ini masuk tahun politik, tapi kalau boleh politik itu gak boleh panas, supaya kita menjaga stabilitas dan kita memperkecil wait and see dari pada investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia," ujar dia dalam Konferensi Pers Realisasi Investasi Kuartal II-2023, di Kantor Kementerian Investasi/BKPM, Jakarta, Jumat (21/7).

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

2 dari 3 halaman

Orang Indonesia Hobi Belanja dan Jalan-Jalan Bikin Pertumbuhan Ekonomi Aman

Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro, menyampaikan berdasarkan Data Mandiri Spending Index mencatat bahwa masyarakat Indonesia seiring berbelanja barang konsumsi dan melakukan perjalanan.

Hal itu tercatat sebanyak 40 persen pengeluaran masyarakat Indonesia digunakan untuk makan di restoran dan berbelanja di supermarket. Tak hanya untuk makanan saja, ternyata 9 persen pengeluaran mereka dialokasikan untuk berbelanja pakaian.

“Kita bisa lihat, (orang) Indonesia hobi jajan dan jalan-jalan,” kata Asmo dalam acara pelatihan wartawan BI di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Minggu (10/9/2023).

Melihat hal itu, ia menilai pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan tetap terjaga dikisaran 5 persen secara tahunan. Disisi lain, dengan terus meningkanya pengeluaran masyarakat terhadap konsumsi akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen yoy.

Kendati demikian, pria yang akrab disapa Asmo ini menegaskan bahwa Pemerintah masih harus tetap berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi melalui mendorong kinerja investasi.

Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari segi pengeluaran, konsumsi rumah tangga menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2023 dengan nilai kontribusi 2,77 persen.

 

3 dari 3 halaman

Ekonomi China Loyo, Apa Dampaknya ke Indonesia?

Bank Indonesia (BI) menyampaikan kondisi ekonomi global khususnya dua negara adidaya yakni China dan Amerika Serikat yang menjadi mitra perdagangan utama Indonesia.

Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Erwindo Kolopaking, menyebut ekonomi China saat ini dalam kondisi yang loyo dibandingkan ekonomi Amerika Serikat yang masih cukup baik di tengah ketidakpastian.

"Ekonomi China ini tidak sebaik yang kita bayangkan," kata Erwindo dalam acara pelatihan wartawan BI di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Minggu (10/9/2023).

Erwindo mengatakan, padahal pelaku ekonomi sangat meyakini pada awal tahun ini akan ada stimulus-stimulus tambahan dari China. Namun, ternyata kondisinya kurang baik, hal itu dikarenakan masih terdapat utang di sektor rumah tangga yang tinggi serta konsumsi dan kinerja properti yang memburuk.

Menurutnya, jika dilihat beberapa tahun terakhir, kata Erwindo, sebetulnya China mendorong infrastruktur yang baik, mulai dari jaln maupun bangunan dan lainnya. Namun, ketika China mencoba mendorong ke sektor konsumsi hasilnya belum mampu sepenuhnya menopang perekonomian domestik.

Alhasil, saat perekonomian China melambat maka akan berdampak terhadap negara-negara sekitar, termasuk Indonesia. Sebab, China merupakan mitra dagang Indonesia.

"Sehingga ketika perekonomian China melambat ini berdampak signfikan kepada negara-negara sekitar salah satunya Indonesia," ujarnya.

Sementara itu, ekonomi Amerika Serikat justru lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Hal itu dikarenakan, stimulus yang diberikan pada saat masa pandemi Covid-19 membuat masyarakat memiliki bekal yang cukup banyak untuk menopang konsumsi. Hal itulah yang membuat inflasi di Amerika Serikat stabi di atas target The Fed.

"Akibatnya The Fed juga diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga yang tadinya di kuartal III tapi sepertinya akan diundur pada kuartal IV 2023. Ini juga akan mendorong ketidakpastian di pasar keuangan," kata Erwindo.

Lebih lanjut, dengan akan berkahirnya tahun fiskal Amerika Serikat pada kuartal III-2023, dinilai akan mendorong pasar keuangan sedikit bergejolak.

"Pada intinya pertumbuhan ekonomi terjaga, PMI globalnya juga relatif membaik, penjualan eceran global di AS juga masih tinggi karena memang sisi permintaan di Amerika sangat kuat," pungkasnya.