Sukses

Sejarah Waduk Gajah Mungkur, Heboh Usai Kemunculan Makam Kuno

Musim kemarau yang panjang membuat air di Waduk Gajah Mungkur surut. Surutnya air di waduk tersebut memunculkan makam-makam kuno.

Liputan6.com, Jakarta Musim kemarau yang panjang membuat air di Waduk Gajah Mungkur surut. Surutnya air di waduk tersebut memunculkan makam-makam kuno.

Makam kuno itu terlihat di banyak titik, mulai dari di Kecamatan Ermoko, Wuryantoro, Baturetno, hingga Nguntoronadi. Diketahui, makam ini milik masyarakat sebelum ada penggusuran.

Batu nisan makam di dalam waduk ini akan terlihat jelas ketika air waduknya surut dan tidak akan terlihat pada saat musim hujan. Kemunculan makam-makam itu pun membuat Waduk Gajah Mungkur menjadi pembicaraan. 

Berikut ulusan mengenai sejarah Waduk Gajahmungkur:

Dikutip dari Merdeka.com, Waduk Gajah Mungkur merupakan inisiasi dari Ir. R.M Sarsito Mangunkusumo. Waduk Gajah Mungkur merupakan sebuah waduk yang terletak sekitar 6 kilometer di selatan pusat kota Wonogiri.

Ide Pembangunan Waduk Gajah Mungkur

Ide pembangunannya sebenarnya telah dimulai pada tahun 1941 oleh Ir. R.M Sarsito Mangunkusumo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pekerjaan Umum Mangkunegaran di Surakarta.

Tetapi pembangunan waduk itu belum sempat terlaksana, karena kondisi dan situasi saat itu yang belum memadai.

Pada dekade 1970-an, Sungai Bengawan Solo selalu meluap di musim hujan. Tapi saat musim kemarau, debit air sungai itu tidak terlalu besar, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan air dari masyarakat sekitar.

Oleh karena itu pada tahun 1975, JICA (Badan Kerja Sama Internasional Jepang) mulai mengadakan studi kelayakan waduk.

 

 

2 dari 3 halaman

Dibangun 1975 dan Habiskan Dana Rp 69,5 Miliar

Waduk Gajah Mungkur mulai dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 1976 melalui Proyek Bengawan Solo (PBS).

Selain pembangunan waduk, juga dilakukan pembangunan saluran listrik udara dari Wonogiri hingga Wuryantoro, serta pemindahan kabel telepon sepanjang 44 kilometer serta jalan raya sepanjang 43,4 kilometer dari Wonogiri hingga Talunombo.

Demi pembangunan waduk tersebut, sebanyak 41.369 warga yang tinggal di 45 desa di 6 kecamatan di Wonogiri harus dipindah.

Sebagian besarnya kemudian ikut program transmigrasi ke Sumatera. Sementara itu tanah seluas 10.156 hektar juga harus dibebaskan. Ganti rugi atas tanah pun diberikan secara bertahap untuk menghindari terjadinya kaya mendadak.

Diresmikan 1981

Bendungan dari waduk tersebut kemudian dibangun di dekat pertemuan antara Sungai Bengawan Solo dengan Sungai Keduang. Waduk tersebut mulai diisi pada bulan Juli 1981.

Lalu diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 17 November 1981. Pembangunan waduk itu menghabiskan biaya sebesar US$ 111,056 juta atau sekitar Rp69,5 miliar.

Pada tahun 1987, terjadi kemarau panjang. Hal ini membuat pola PLTA dari waduk tersebut harus disesuaikan atas izin dari Gubernur Jawa Tengah agar kebutuhan air irigasi tetap terpenuhi. Musim kemarau panjang juga terjadi sepuluh tahun kemudian. 

 

3 dari 3 halaman

Digadang Beroperasi hingga 100 Tahun

Waduk Gajah Mungkur rencananya dibuat untuk beroperasi selama 100 tahun. Namun terjadinya sedimentasi menyebabkan umur waduk diperkirakan tidak akan selama itu.

Sedimentasi itu salah satunya disebabkan oleh parahnya kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo.

Sedimentasi itu juga disebabkan oleh perubahan kegiatan masyarakat di sekitar waduk. Awalnya masyarakat hanya menanam sayur, namun kemudian mulai menanam tanaman sawah. 

Waduk Gajah Mungkur direncanakan dapat mengairi lahan pertanian seluas sekitar 23.600 hektar di Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, dan Sragen. Air yang tertampung di waduk ini juga dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik melalui sebuah PLTA berkapasitas 12,4 MW yang dikelola oleh PLN Indonesia Power. 

Obyek Wisata

Selain itu, Waduk Gajah Mungkur juga dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Di waduk itu disediakan kapal yang digunakan untuk mengelilingi waduk dan untuk memancing. Selain itu, tersedia juga wahana olahraga gantole serta taman rekreasi “Sendang” yang terletak enam kilometer di selatan Kota Wonogiri.  

Pada musim kemarau, volume air waduk mengecil. Hal ini membuat sebagian dasar waduk dapat dilihat. Dasar waduk yang dapat dilihat itu dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk menanam tanaman semusim seperti jagung.