Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita menilai aturan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang merupakan revisi dari Permendag nomor 50 tahun 2020 hanya bersifat kebijakan jeda bukan solusi.
"Permendag yang baru setidaknya memang bisa menyenangkan para pihak yang mengeluhkan soal pengaruh social ecommerce atas penjualan UMKM. Namun, untuk membendung saya pikir susah. Kita dan China punya kebijakan domestik yang berbeda," kata Ronny, Jumat (29/9/2023).
Sebab, China memberikan subsidi yang besar kepada produk-produk ekspor, untuk mempertahankan pasar, bahkan menambah pasar.
Advertisement
Subsidi tersebut melahirkan praktek harga predatory pricing di negara tujuan produk tersebut, karena menjadi sangat murah.
"Sudahlah biaya produksi dan tingkat efisiensi produksi di China sangat rendah dibanding di sini, lalu diberi subsidi pula, maka sudah bisa dibayangkan hasilnya, yakni harga yang sangat murah," ujarnya.
Menurut Ronny, China melakukan itu karena faktor struktural. Pertumbuhan ekonomi China berbeda dengan Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi China ditopang oleh ekspor dan investasi asing. Sementara, kontribusi konsumsi rumah tangganya di bawah 50 persen, sekitar 30 persen.
Maka saat pertumbuhan ekonomi global mulai melandai, tepatnya sejak krisis finansial 2008, permintaan atas produk China otomatis ikut terpengaruh.
Subsidi Besar-besaran
Bahkan China sampai saat ini belum juga berhasil melakukan rebalancing ke konsumsi rumah tangga, sehingga pertumbuhan ekonominya masih bertumpu pada ekspor.
"Nah, daripada permintaan ekspor turun, lalu produsen pada gulung tikar, lalu terjadi PHK masal, China akhirnya memilih langkah subsidi masif, agar produknya menjadi sangat kompetitif alias sangat murah," ujarnya.
Daripada dihadapkan pada situasi PHK masal, China memilih langkah subsidi besar-besar, sampai proses rebalancing membuahkan hasil, di mana tingkat kontribusi konsumsi rumah tangga pada pertumbuhan bisa naik sampai ke level 50-60 persen.
Di sisi lain, Pemerintah bisa saja melarang atau menaikan tarif beamasuk, tapi tentu ada point-point free trade antara Asean dan China yang harus dipatuhi.
Advertisement
Hanya Kebijakan Jeda
Tapi jika terpaksa bisa dilakukan, selama Pemerintah Indonesia juga berani menerima resiko jika China melakukan balasan dengan menerapkan tarif bea masuk pada komoditas kita.
"Jadi, pembatasan hanya bersifat sementara, sebagai kebijakan jeda. Karena pada intinya, kemampuan bersaing dengan produk luar terletak pada produk kita, apakah produk kita bisa bersaing, baik secara kualitas maupun secara harga. Jadi kebijakan ini sebenarnya adalah instrospeksi bagi pemerintah untuk fokus pada kapasitas produksi nasional, dari UmKM sampai korporasi domestik," tegasnya.
Terbukti kebijakan infrastruktur Jokowi hanya mempermurah biaya tanspor barang-barang impor, bukan mempermudah biaya transpor barang dalam negeri untuk diekspor, karena kapasitas produksi nasional tak disentuh oleh pemerintah. Lihat saja industri TPT/Tekstil, nyaris gulung tikar semua. Padahal infrastruktur sudah dibangun di mana-mana.
"Saya sudah sejak 2018 lalu mengingatkan soal infrastruktur tersebut, kalau tak mendukung kapasitas produksi nasional, maka hanya akan menjebak BUMN ke dalam utang dan akan menenggelamkan produk dalam negeri kita, karena penikmatnya secara ekonomi bukan produk kita, tapi produk impor yang semakin lancar masuk sampai ke pedalaman, karena infrastrukturnya sudah sampai ke desa-desa," pungkasnya.
Beda Social Commerce dan E-Commerce
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan resmi melarang media sosial yang sekaligus beroperasi untuk menjadi tempat transaksi jual beli online seperti TikTok Shop.
Ketentuan itu tertuang dalam Permendag 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Zulkifli menuturkan, aturan berlaku pada Selasa, 26 September 2023.
"Tidak boleh lagi (berjualan). Mulai kemarin (aturan berlaku), tapi kita kasih waktu seminggu. Ini kan sosialisasi namanya, besok kita surati," kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam konferensi pers di Kementerian Perdagangan, Rabu, 27 September 2023.
Dikutip dari Antara, Zulkifli Hasan menuturkan, Permendag 31/2023 merupakan penyempurnaan dari Permendag 50/2020 yang juga mengatur tentang perdagangan elektronik.
“Ini merupakan penyempurnaan Permendag 50/2020 yang merupakan amanat presiden ke Menteri Perdagangan dan Menteri Koperasi untuk tingkatkan perlindungan terhadap UMKM, konsumen dan pelaku usaha di dalam negeri,” kata dia.
Adapun kebiasaan masyarakat berbelanja online makin meningkat sejak pandemi COVID-19. Hal itu juga berdampak terhadap transaksi platform belanja online. Kini transaksi belanja bukan hanya di e-commerce saja tetapi juga lewat media sosial. Hal ini juga dikenal sebagai social commerce.
Lalu apa perbedaan social commerce dan e-commerce?
Berikut perbedaan social commerce dan e-commerce yang dikutip dari berbagai www.alphajwc.com, Jumat (29/9/2023):
Pengertian
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, social e-commerce adalah penyelenggara media sosial yang menyediakan fitur, menu, dan atau fasilitas tertentu yang memungkinkan pedagangan (merchant) dapat memasang penawaran barang dan jasa.
Dikutip dari laman www.alphajwc.com, e-commerce merujuk kepada platform online yang menjadi tempat jual beli produk. Produk-produk ditampilkan lengkap dengan deskripsi dan harga, selanjutnya pembeli hanya tinggal memilih produk dan memproses hingga pembayaran selesai.
Tranaksi dilakukan dalam satu platform tanpa harus berpindah ke aplikasi dan website lainnya. Selanjutnya pembeli menunggu hingga barang yang dibeli dikirimkan ke rumah.
Advertisement
Transaksi hingga Interaksi
Transaksi
Transaksi di e-commerce dinilai lebih praktis ketimbang social commerce. Saat seseorang membeli produk melalui e-commerce, pembeli dapat menyelesaikan transaksi tanpa keluar dari aplikasi itu, terutama jika sudah terhubung dengan dompet digital.
Sementara itu, social commerce, pembeli masih harus transaksi di luar platform terutama untuk pembayaran. Hal ini terjadi karena media sosial hanya berfungsi sebagai tempat display yang sangat menarik untuk memajang dan memamerkan produk jualan.
Interaksi antara penjual dan pembeli
Pada e-commerce, interaksi antara penjual dan pembeli dilakukan melalui pesan pribadi, diskusi dan ulasan. Interasi lebih terbatas dan hanya seputar produk dan transaksi jual beli karena memang berfungsi sebagai tempat jual beli.
Sedangkan interaksi di social commerce terjadi melalui pesan pribadi dan kolom komentar. Masing-masing penjual di social commerce memiliki kebijakan tersendiri dalam berinteraksi dengan konsumen. Akan tetapi, interaksi penjual dan pembeli di social commerce lebih halus karena lebih mudah dilihat oleh pengguna lain dan akan menjadi pertimbangan juga bagi calon pembeli.
Ulasan hingga Tampilan
Ulasan
Pada e-commerce, ulasan sangat menentukan reputasi penjual. Sedangkan ulasan di social e-commerce belum terlalu banyak karena tidak diwajibkan oleh platform. Hal itu membuat ulasan pembeli di social commerce tidak menjadi penting bagi calon pembeli.
Tampilan
Tampilan e-commerce seragam untuk setiap toko. Biasanya perbedaan terdapat pada bagian banner. Sedangkan pada social commerce yang berbasis media sosial, penjual dapat lebih kreatif dalam display produknya. Tampilannya dapat berupa foto, video bahkan konten audiovisual tergantung dari segmen pembeli yang dibidik.
Pemanfaatan media sosial
Tak semua toko di e-commerce punya akun media sosial dan memanfaatkan media sosial untuk pasarkan produknya. Penjualan akan lebih fokus iklankan produk di platform e-commerce itu. Di sosial commerce, media sosial diandalkan karena berbasis media sosial.
Advertisement