Sukses

Masuk RUPTL 2021-2030, Pembangkit Listrik EBT Dapat Perhatian Pemerintah

Pemerintah telah menetapkan RUPTL periode 2021-2030 yang di dalamnya sudah mengakomodasi pembangkit EBT dengan kapasitas yang signifikan.

Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak menyebutkan pemerintah dan DPR harus hati-hati terhadap klausul power wheeling dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).

Menurut dia, klausul tersebut sudah dikeluarkan pada awal tahun 2023 ini, dan sempat muncul lagi tiga bulan berikutnya.

Dia menegaskan bahwa pemerintah sudah tidak memerlukan lagi skema power wheeling. Pemerintah telah menetapkan RUPTL periode 2021-2030 yang di dalamnya sudah mengakomodasi pembangkit EBT dengan kapasitas yang signifikan yaitu 20,9 GW atau 51,6 persen dari total penambahan pembangkit.

“Di mana porsinya lebih besar dibandingkan pembangkit fosil," kata Achmudi  dikutip dari Antara, Minggu (1/10/2023).

Dengan demikian, tambahnya, tidak ada lagi urgensi penerapan skema "power wheeling", apalagi akan dipaksakan masuk ke dalam RUU EBET, apalagi tanpa skema Power Wheeling program itu tetap berjalan baik.

Skema Power Wheeling Tak Masuk RUU EBT

Diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memastikan tak ada skema power wheeling dalam draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Namun, yang pasti adalah penyediaan listrik EBT untuk bisa dilaksanakan.

Power wheeling sendiri merupakan skema yang membolehkan perusahaan swasta untuk membangun pembangkit listrik EBT. Kemudian, disalurkan ke pelanggan dengan memanfaatkan infrastruktur milik PT PLN (Persero) dengan membayar tarif yang ditentukan Kementerian ESDM.

Belakangan, sejumlah pihak memang menolak adanya skema ini dalam implementasi EBT di Indonesia. Salah satu kekhawatirannya, harga setrum yang dibebankan ke pelanggan bakal lebih mahal.

"Kan sudah jelas, posisi pemerintah sudah jelas, tidak ada (skema) power wheeling (dalam RUU EBET), tetapi adalah kewajiban untuk menyediakan energi baru dan bersih ke dalam sistem. Itu kewajiban, itu harus dilaksanakan," kata dia saat ditemui di Kompleks DPR RI.

Untuk diketahui, skema power wheeling sendiri dicabut dari daftar invertarisasi masalah (DIM) dalam RUU EBET tadi. Nantinya, RUU EBET atau RUU EBT ini akan masuk pembahasan di parlemen dan dijalankan oleh Panja DPR RI.

 

 

2 dari 3 halaman

Skema Power Wheeling Dicabut

Sebelumnya, pemerintah mencabut skema power wheeling yang ada di Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Langkah ini dinilai bisa menghemat penggunaan dana APBN.

Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengungkap, power wheeling dihapus pemerintah melalui daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBT. Guna memastikan sejalan dengan upaya tersebut, Fahmy menyebut kalau ini perlu dikawal kedepannya.

"Berhubung power wheeling berpotensi merugikan negara dan memberatkan rakyat serta melanggar UUD 1945, UU ketenagalistrikan dan Keputusan MK, penarikan pasal power wheeling dari RUU EBT merupakan langkah yang sangat tepat," kata dia dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Selasa (24/1/2023).

"Selanjutnya, semua pihak harus ikut mengawal proses pembahasan RUU EBT agar sesuai dengan DIM, sehingga tidak ada lagi penyelundupan pasal siluman serupa dengan power wheeling yang tidak sesuai dengan DIM," sambung Fahmy.

 

3 dari 3 halaman

Berpotensi Tambah Beban APBN

Power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri.

Skemanya, penjualan setrum IPP dengan mempergunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PLN melalui open source dengan membayar fee yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM.

Penerapan power wheeling berpotensi menambah beban APBN yang merugikan negara. Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen, dan pelanggan non-organik hingga 50 persen.

Dia memandang, Penurunan jumlah pelanggan PLN itu, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN, juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik.

Dampaknya, dapat membengkakan beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian.

"Power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen, dengan penetapan tarif listrik yang diserahkan pada mekanisme pasar. Dengan power wheeling, penetapan tarif listrik ditentukan oleh demand and supply, pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan," urainya.

Â