Sukses

Jokowi Singgung TikTok Shop di Depan PNS: Jangan Alergi Teknologi dan Digitalisasi

Presiden Jokowi menghadiri pembukaan Rakernas Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) 2023, lengkap memakai batik seragam Korpri, Selasa (3/10/2023). Jokowi membahas mengenai TikTok Shop dihadapan ASN yang hadir.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) 2023, lengkap memakai batik seragam Korpri, Selasa (3/10/2023). Dalam sambutannya, Jokowi membahas mengenai TikTok Shop dihadapan ASN yang hadir. Ia ingin ASN adaftif terhadap perubahan regulasi.

"Regulasi baik itu Undang-Undang, Permen, Perda, nanti ada peraturan dinas, peraturan menteri, peraturan dirjen itu kurangi karena sekarang ini butuh fleksibilitas tinggi butuh kelincahan, karena perubahan sangat cepat sekali," kata Jokowi.

Selain itu, Jokowi mengatakan saat ini masih banyak negara yang belum siap dan khawatir dalam menghadapi perkembangan teknologi yang semakin pesat. 

Apalagi teknologi saat ini semakin canggih, misalnya Artificial Intelligence, dan Generatif Intelligence.

Perkembangan Teknologi

Sejalan dengan perkembangan teknologi yang pesat, ternyata banyak negara yang belum mempersiapkam regulasi yang jelas untuk mengatur hal tersebut. Sebagai contoh, yang dialami Indonesia terkait TikTok Shop.

 

"Mestinya teknologi muncul, regulasi disiapkan birokrasi kita. Muncul siapkan. Kalau gak siap yang kena seperti kejadian Tiktok Shop. Bisa mengenai UMKM kita mengenai pasar tradisional kita," ujar Jokowi.

Kendati demikian, Jokowi menegaskan, ASN tidak alergi terhadap teknologi dan perkembangan digitalisasi. Menurutnya, kedua hal itu sangat penting.

"Dan juga sekarang ASN (PNS) jangan alergi terhadap teknologi dan digitalisasi, sangat penting tidak kita cegah lagi mengejarnya harus lewat teknologi dan digitalisasi, karakter itu harus disampaikan kepada seluruh anggota KORPRI," pungkas Jokowi. 

2 dari 4 halaman

Ternyata Ini Alasan Media Sosial dan E-Commerce Tak Boleh Digabung

Pemerintah baru saja mengesahkan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Regulasi anyar ini salah satunya mengatur tentang pemisahan bisnis antara media sosial dan e-commerce atau social commerce.

Sosial commerce hanya diperbolehkan sebagai sarana untuk memberikan penawaran barang dan atau jasa. "PPMSE dengan model bisnis Social-Commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada Sistem Elektroniknya," bunyi Pasal 21 ayat (3).

Content creator dengan akun @janes_cs juga mengutarakan pendapat yang sama pada postingannya di platform TikTok, Rabu (27/9/2023) lalu. Content creators yang punya follower 2,8 juta ini mengatakan platform media sosial dan e-commerce memang harus dipisahkan.

"Persoalannya, platform ini mengelola uang kita. Saya pribadi sebagai awam mempertanyakan legalitas dari platform ini untuk mengelola uang, mengelola transaksi. Ini kok bisa platform yang berbasis sosial media ini manage transaction," kata dia.Menurut dia, revisi regulasi yang dilakukan pemerintah saat ini sudah tepat namun terlambat. Tapi, dia menegaskan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Apalagi, apa yang dilakukan pemerintah ini punya tujuan yang mulia, mendorong merek dan bisnis lokal, khususnya UMKM untuk tumbuh dan berkembang.

"Bagi yang masih belum terlalu paham karena masih ada komentar di sosial media termasuk instagram, facebook juga orang berjualan. Ini berbeda. Mereka mempromosikan produknya melalui instagram, facebook tapi platform-platform ini tidak mengelola uang kita. Mereka tidak menerima pembayaran. Konsumen bayar langsung ke seller, ke penjualnya bukan ke platform," katanya.

 

3 dari 4 halaman

4 Alasan

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri koperasi dan UKM (MenKopUKM) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari menjelaskan, tentang bahayanya sebuah platform menjalankan bisnis media sosial dengan e-commerce secara bersamaan. Setidaknya ada empat alasan, kata Fiki yang membuat sebuah platform dilarang menjalankan bisnis tersebut secara bersamaan.

Pertama, sebuah platform bisa memonopoli pasar. Ironisnya, monopoli alur traffic dijalankan tanpa disadari oleh pengguna. Mereka diarahkan untuk membeli produk tertentu tanpa mereka sadar.

"Monopoli terjadi apabila ada platform yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, penetapan harga yang tidak adil, perlakuan yang berbeda, dan penetapan harga diskriminatif berdasarkan data yang dipunyai," kata Fiki.

 

 

 

4 dari 4 halaman

Manipulasi Algoritma

Kedua, platform bisa memanipulasi algoritma. Platform yang memiliki media sosial dan e-commerce secara bersamaan bisa dengan mudah mendorong produk asing tertentu untuk muncul terus menerus di media sosial pengguna dan di saat bersamaan mempersulit produk lokal untuk muncul di media sosial.

"Manipulasi algoritma ini memungkinkan platform untuk menguntungkan satu produk dan di saat bersamaan mendiskriminasi produk lainnya," tegas Fiki

Ketiga, platform bisa memanfaatkan traffic. Media sosial mempunyai traffic yang sangat besar dan saat ini dapat dimanfaatkan menjadi navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce. Trigger pembelian ini tidak boleh ditangkap oleh e-commerce yang berada dalam satu platform dengan media sosial. Jika ini terjadi, maka tidak ada equal playing field dalam industri digital di Indonesia.

Keempat, perlindungan data. Jika berkaca kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya. Karena media sosial tujuannya untuk hiburan, maka data yang didapat dari situ tidak untuk diperdagangkan.

"Data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan untuk diduplikasi sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan," kata Fiki.

 

Â