Sukses

Begini Proyeksi Ekonomi Dunia dan Indonesia di 2050

Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengungkapkan ekonomi dunia diprediksi bakal cerah pada 2050 mendatang.  

Liputan6.com, Jakarta Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengungkapkan ekonomi dunia diprediksi bakal cerah pada 2050 mendatang. 

"Ekonomi dunia 2050 diprediksi meningkat dua kali lipat. Dari USD 105 triliun saat ini menjadi USD 228 triliun untuk tahun 2050," kata Retno Marsudi dalam acara Wealth Wisdom Harmonious Wealth Journey, Rabu (4/10/2023). 

Dia bilang, ke depannya, ekonomi dunia akan didominasi oleh China, Amerika Serikat (AS), India dan Indonesia. Pemain-pemain ekonomi utama lainnya diperkirakan masih akan tetap bertahan seperti Jepang, Brazil, Rusia dan Uni Eropa. 

"Akan terjadi pergeseran konsentrasi kekuatan posisi AS dan UE kemungkinan cenderung menurun. Kebangkitan Asia akan semakin tidak terbendung," kata dia. 

Sementara itu, GDP Asia juga diproyeksikan meningkat 10 kali dari USD 17 triliun pada 2010 menjadi USD 174 triliun pada 2050. 

"Kenaikan Asia ditopang 7 negara, China, India, Indonesia, Jepang, Korea, Thailand dan Malaysia," ujarnya.

Tak hanya itu, ia menyebut, 60 persen GDP dunia berasal dari emerging economies termasuk Indonesia. Meski demikian, ia menegaskan, untuk mencapai prediksi yang positif ini perlu dilakukan dengan kerja keras. 

"Prediksi tersebut tidak akan berhasil kita capai kalau kita tidak kejar cita-cita itu. Prediksinya bagus memerlukan kerja keras untuk mencapai prediksi tersebut," tandasnya. 

 

 

2 dari 3 halaman

Waspada, 5 Risiko Ini Hantui Ekonomi Indonesia Jika Rupiah Terus Anjlok

Dalam beberapa pekan terakhir, nilai Rupiah kerap menunjukkan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Terbaru, pada Selasa pagi (3/10) nilai tukar Rupiah terhadap USD melemah 0,26 persen atau 41 poin menjadi 15.571 per USD dari sebelumnya 15.530 per USD.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, ada 5 risiko yang berdampak pada ekonomi Indonesia dari pelemahan Rupiah.

“Pertama, harga barang impor akan lebih mahal, khususnya pangan dan sebabkan risiko imported inflation,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Selasa (3/10/2023).

Hal ini berisiko membuat pelaku usaha tidak punya cara lain kecuali meneruskan biaya impor ke konsumen.

Risiko kedua, yaitu terjadinya arus modal yang keluar karena pelemahan rupiah yang persisten menunjukkan adanya risiko dalam negeri Indonesia.

“Investor akan lakukan mitigasi risiko dengan beralih ke aset lain,” jelas Bhima.

Ketiga, jumlah masyarakat miskin akan bertambah karena pelemahan kurs berarti naiknya beragam harga kebutuhan pokok.

 

3 dari 3 halaman

Beras hingga Bawang Masih Ketergantungan Impor

Bhima mengingatkan, hampir sebagian besar pangan mulai dari beras, bawang putih, gula ketergantungan impornya tinggi dan sensitif terhadap pelemahan rupiah.

“Keempat, menyempitnya lapangan kerja terutama di sektor industri yang bahan baku impornya dominan,” sambungnya.

Hal ini berpontensi mendorong industri menurunkan kapasitas produksinya untuk hindari selisih kurs dari impor mesin dan bahan baku.

Terakhir, jumlah utang luar negeri akan bertambah sementara tidak semua pelaku usaha melakukan hedging. Bhima menyarankan, Bank Indonesia (BI) perlu dorong DHE yang masuk lebih banyak ke perbankan domestik.

“Komunikasi dengan eksportir bisa didorong lagi sehingga valas yang disimpan lebih banyak,” imbuhnya.

“Local currency settlement perlu diperluas ke berbagai negara mitra dagang lainnya,” tambahnya.

Video Terkini