Sukses

Kesenjangan antar Negara Makin Lebar, Pemulihan Ekonomi Global Jadi Lama

Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspanmengatakan, diperlukan kebijakan yang seimbang antara langkah-langkah fiskal, moneter dan sisi penawaran untuk keberlanjutan keuangan dan meningkatkan investasi.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam laporan terbarunya, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mengingatkan bahwa kesenjangan yang semakin besar antar negara berkontribusi terhadap lemahnya permintaan global dan membatasi investasi dan pertumbuhan.

"Tidak ada kekuatan pendorong yang jelas untuk mendorong perekonomian dunia ke jalur pemulihan yang kuat dan berkelanjutan," kata UNCTAD dalam laporan Perdagangan dan Pembangunan tahun 2023, dikutip dari US News, Kamis (5/10/2023).

Dalam pernyataan yang menyertai laporan tersebut, Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan mengatakan,perlu perpaduan kebijakan yang seimbang antara langkah-langkah fiskal, moneter dan sisi penawaran untuk mencapai keberlanjutan keuangan dan meningkatkan investasi.

"Regulasi perlu mengatasi asimetri yang semakin mendalam dalam sistem perdagangan dan keuangan internasional," jelasnya.

UNCTAD memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat dari 3 persen pada tahun 2022 menjadi 2,4 persen tahun ini, dengan sedikit tanda-tanda pemulihan pada tahun 2024.

Untuk mengatasi terhambatnya pertumbuhan, laporan UNCTAD merekomendasikan agar pengurangan kesenjangan dijadikan prioritas kebijakan di negara maju dan berkembang.

Badan dunia itu juga mendorong agar bank sentral di negara-negara dunia memainkan peran yang lebih kuat dalam menstabilkan perekonomian dan sistem utang harus memastikan akses yang dapat diandalkan terhadap likuiditas untuk mencapai tujuan tersebut.

"Mengingat meningkatnya saling ketergantungan dalam perekonomian global, para gubernur bank sentral harus menjalankan fungsi stabilisasi yang lebih luas, yang akan membantu menyeimbangkan prioritas stabilitas moneter dengan keberlanjutan keuangan jangka panjang,” tulis UNCTAD dalam laporan itu.

2 dari 3 halaman

Tantangan Ekonomi Global Terlalu Banyak, Kemana Arah Investasi yang Aman?

Ekonomi global menghadapi banyak tantangan dari kebijakan suku bunga The Fed, kenaikan harga minyak dunia, dan efek perang Rusia dan Ukraina. Bagaimana pengaruhnya ke Indonesia?

Peneliti INDEF Abdul Manap Pulungan mengatakan, gejolak ekonomi dunia itu memberikan pengaruh yang berbeda di tiap negara. Di Amerika, tentu itu akan berbeda dengan Inggris dan Eropa. Amerika hanya bermasalah di inflasi.

"Tetapi bagi negara yang situasinya berbeda seperti Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, tentu dampaknya akan lebih terasa karena negara-negara tersebut memiliki masalah tingkat inflasi yang tinggi dan juga pengangguran yang tinggi," jelasnya dalam keterangan tertulis, Senin (18/9/2023).  

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Abdul meyakini bahwa Indonesia akan mampu melewati situasi dari gejolak tersebut, mengingat Indonesia pernah melewati situasi tekanan ekonomi yang lebih sulit. Hanya saja, Indonesia menurutnya, perlu melakukan penyesuaian secara mendalam dan melakukan langkah-langkah strategis agar turbulensi ekonomi dunia tidak mendorong hal terburuk terjadi di tingkat domestik.

"Saya melihat, Indonesia cenderung siap menghadapi gejolak ekonomi global saat ini. Karena Indonesia sudah pernah melewati situasi yang lebih buruk dari itu. Tinggal bagaimana kita melakukan penyesuaian internal dari kenaikan harga minyak itu," kata dia. 

"Sebenarnya sudah banyak wacana-wacana yang berkembang terkait bagaimana meningkatkan diversifikasi produksi yang tidak hanya terbatas pada bahan-bahan mentah seperti minyak, tetapi bisa shifting ke energi terbarukan," ujarnya.

Abdul menekankan bahwa mesti ada kebijakan strategis untuk menekan negara-negara produsen minyak, agar kedepan pembatasan produksi minyak dunia dapat dikontrol sebagaimana mestinya.

Terlebih di dalam negeri, kenaikan harga minyak dunia tersebut tentu dapat mendorong pemerintah Indonesia dalam menaikan harga BBM. Hal tersebut dapat dilakukan demi merawat fiskal agar tetap defisit dibawah 3%.

3 dari 3 halaman

Keadaan Pasar Modal

Sementara itu, Founder Tumbuh Makna, Muliadi San, menganalisis lebih jauh mengenai kekuatan ekonomi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa dalam konteks pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya dalam perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), masih dapat dikategorikan tergolong cukup stabil dalam merespons gejolak ekonomi dunia yang terjadi belakangan ini.

Ia melihat valuasi IHSG cenderung atraktif. Berdasarkan data dari 2013 sampai 2022, pada bulan September itu, IHSG ada di zona merah sebanyak 6 tahun dari 10 tahun. Artinya adalah di bulan September, IHSG itu kecenderungannya mengalami koreksi. Sementara di bulan Oktober, IHSG kita selama 8 tahun ada di zona hijau, dan hanya 2 tahun berada di zona merah.

"Jadi probabilitasnya di bulan Oktober IHSG itu mengalami kenaikan. Secara statistik hal ini cukup menarik untuk pasar saham kita di sisa bulan semester II 2023,” jelasnya.

Oleh karena itu, menurutnya, terdapat peluang yang baik di sisi ekonomi yang lain di Indonesia. Hal tersebut, dalam analisanya, justru bisa dimanfaatkan dengan baik dan rasional oleh berbagai investor.