Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan target membawa Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Kepastian nasib ini salah satunya ditentukan oleh partai politik (parpol).
Hal itu disuarakan Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa dalam Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan Rencana Panjang Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Teknokratik 2025-2029 Kepada Partai Politik di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta, Senin (9/10/2023).
"Bicara 2025-2029 yang sebentar lagi, itu akan ditentukan ibu dan bapak yang ada di ruangan ini, petugas dan pekerja partai politik yang akan mendesain seperti apa pilihan opsi kebijakan," ujar Suharso.
Advertisement
Demi mencapai tujuan itu, ia menambahkan, paling tidak kisaran pertumbuhan ekonomi Indonesia secara rata-rata harus ada di angka 6 persen. Khususnya dalam mengejar target lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah, atau middle income trap di 2025.
"Kisaran pertumbuhan 5,6-6,1 (persen), itu prasyarat. Kalau pertumbuhan ekonomi 2025-2029 rerata enggak sampai di angka ini, kami khawatir cita-cita melepas middle income trap di 2025 tidak tercapai," ungkapnya.
"Bagaimana caranya? Silakan partai politik pilih opsi kebijakan," pinta Suharso.
Tolak Ukur Kemajuan
Tak hanya untuk jangka menengah, kontribusi partai politik terhadap ekonomi Indonesia juga diperlukan untuk jangka panjang. Menurut dia, perhitungan tolak ukur kemajuan Indonesia tidak semata-mata hanya ekonomi.
Suharso mencontohkan, jika Indonesia ingin jadi negara maju bisa diukur lewat komparasi tingkat pendapatan negara maju, lalu bagaimana mengukurnya, dan pemerintah akan mengukurnya secara komposit.
"Karenanya, maka angka yang kami sampaikan ini, kami tanggungkan hari ini. Perlu daya kreasi besar, yang peluang-peluang itu akan diisi parpol. Partai politik yang akan pilih secara tegas apa yang kira-kira lebih penting. Sehingga capai indeks komposit yang kita inginkan," tuturnya.
"Pasti (masing-masing partai politik) punya pandangan beda, setidaknya punya clue nasional yang pastikan langkah kita serentak dan bersama sama," pungkas Suharso.
Begini Proyeksi Ekonomi Dunia dan Indonesia di 2050
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengungkapkan ekonomi dunia diprediksi bakal cerah pada 2050 mendatang.
"Ekonomi dunia 2050 diprediksi meningkat dua kali lipat. Dari USD 105 triliun saat ini menjadi USD 228 triliun untuk tahun 2050," kata Retno Marsudi dalam acara Wealth Wisdom Harmonious Wealth Journey, Rabu (4/10/2023).
Dia bilang, ke depannya, ekonomi dunia akan didominasi oleh China, Amerika Serikat (AS), India dan Indonesia. Pemain-pemain ekonomi utama lainnya diperkirakan masih akan tetap bertahan seperti Jepang, Brazil, Rusia dan Uni Eropa.
"Akan terjadi pergeseran konsentrasi kekuatan posisi AS dan UE kemungkinan cenderung menurun. Kebangkitan Asia akan semakin tidak terbendung," kata dia.
Sementara itu, GDP Asia juga diproyeksikan meningkat 10 kali dari USD 17 triliun pada 2010 menjadi USD 174 triliun pada 2050.
"Kenaikan Asia ditopang 7 negara, China, India, Indonesia, Jepang, Korea, Thailand dan Malaysia," ujarnya.
Tak hanya itu, ia menyebut, 60 persen GDP dunia berasal dari emerging economies termasuk Indonesia. Meski demikian, ia menegaskan, untuk mencapai prediksi yang positif ini perlu dilakukan dengan kerja keras.
"Prediksi tersebut tidak akan berhasil kita capai kalau kita tidak kejar cita-cita itu. Prediksinya bagus memerlukan kerja keras untuk mencapai prediksi tersebut," tandasnya.
Advertisement
Waspada, 5 Risiko Ini Hantui Ekonomi Indonesia Jika Rupiah Terus Anjlok
Dalam beberapa pekan terakhir, nilai Rupiah kerap menunjukkan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Terbaru, pada Selasa pagi (3/10) nilai tukar Rupiah terhadap USD melemah 0,26 persen atau 41 poin menjadi 15.571 per USD dari sebelumnya 15.530 per USD.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, ada 5 risiko yang berdampak pada ekonomi Indonesia dari pelemahan Rupiah.
“Pertama, harga barang impor akan lebih mahal, khususnya pangan dan sebabkan risiko imported inflation,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Selasa (3/10/2023).
Hal ini berisiko membuat pelaku usaha tidak punya cara lain kecuali meneruskan biaya impor ke konsumen.
Risiko kedua, yaitu terjadinya arus modal yang keluar karena pelemahan rupiah yang persisten menunjukkan adanya risiko dalam negeri Indonesia.
“Investor akan lakukan mitigasi risiko dengan beralih ke aset lain,” jelas Bhima.
Ketiga, jumlah masyarakat miskin akan bertambah karena pelemahan kurs berarti naiknya beragam harga kebutuhan pokok.
Beras hingga Bawang Masih Ketergantungan Impor
Bhima mengingatkan, hampir sebagian besar pangan mulai dari beras, bawang putih, gula ketergantungan impornya tinggi dan sensitif terhadap pelemahan rupiah.
“Keempat, menyempitnya lapangan kerja terutama di sektor industri yang bahan baku impornya dominan,” sambungnya.
Hal ini berpontensi mendorong industri menurunkan kapasitas produksinya untuk hindari selisih kurs dari impor mesin dan bahan baku.
Terakhir, jumlah utang luar negeri akan bertambah sementara tidak semua pelaku usaha melakukan hedging. Bhima menyarankan, Bank Indonesia (BI) perlu dorong DHE yang masuk lebih banyak ke perbankan domestik.
“Komunikasi dengan eksportir bisa didorong lagi sehingga valas yang disimpan lebih banyak,” imbuhnya.
“Local currency settlement perlu diperluas ke berbagai negara mitra dagang lainnya,” tambahnya.
Advertisement