Liputan6.com, Jakarta Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill mengingatkan bahwa meningkatnya tingkat utang di antara negara-negara Asia dapat menghambat pertumbuhan kawasan tersebut di bawah perkiraan saat ini.
Mengutip Channel News Asia, Selasa (10/10/2023) Gill mengatakan, ia tetap kritis terhadap lambatnya restrukturisasi utang di bawah Kerangka Kerja Umum Kelompok G20 untuk merestrukturisasi utang negara-negara termiskin, dan mengatakan bahwa sangat penting untuk mempercepat proses tersebut.
Baca Juga
Namun tingginya tingkat utang di Asia juga menjadi kekhawatiran, mengingat peningkatan pinjaman pemerintah dari pasar domestik akan membatasi tingkat kredit yang tersedia bagi perusahaan swasta, sehingga mengakibatkan melemahnya investasi.
Advertisement
"Kita menghadapi masalah yang bersamaan: terlalu banyak utang dan terlalu sedikit investasi," ujar Gill.
"Banyak konsumsi pemerintah dan konsumsi swasta yang dibiayai melalui utang. Tidak banyak investasi yang dibiayai melalui kredit, dan itu tidak bagus," ucapnya.
"Hasilnya bisa jadi adalah pertumbuhan yang jauh lebih rendah dari perkiraan kami. Jadi ini bukan situasi kesulitan utang, tapi hanya pertumbuhan yang merosot. Tapi ini masalah yang sama seriusnya. Sekarang kita bicara soal negara-negara yang sangat, sangat besar," katanya, tanpa memberikan angka dan negara spesifik.
Capai 85 Persen PDB
Ia enggan memberikan contoh spesifik, namun laporan Bank Dunia baru-baru ini menunjukkan utang pemerintah telah mencapai sekitar 85 persen terhadap PDB rata-rata di negara kawasan Asia Selatan, lebih tinggi dibandingkan negara-negara emerging market dan kawasan ekonomi berkembang lainnya.
Laporan Bank Dunia menemukan bahwa utang meningkat di kawasan ini karena meningkatnya belanja pemerintah, rendahnya pendapatan dalam negeri, dan meningkatnya biaya pembayaran utang. Laporan tersebut mencatat sejumlah faktor, termasuk kerugian pada bank besar milik negara, dapat mendorong biaya pinjaman ke tingkat yang tidak berkelanjutan.
Asia Timur
Peningkatan utang juga meningkat di Asia Timur.
"Kalau lihat angka utangnya (di Asia Timur), semuanya naik. Yang relatif rendah itu Tiongkok, tapi kita tahu kalau di Tiongkok, yang jadi masalah bukan utang pemerintah pusatnya, tapi utang daerah dan hutang perusahaan serta rumah tangga," jelas Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill.
Gill mengatakan dia khawatir bahwa fokus dunia pada negara-negara termiskin yang tercakup dalam Kerangka Kerja Bersama dapat menimbulkan guncangan di negara-negara lain yang tampaknya sehat.
Advertisement
Terkuak, Utang Indonesia Justru Terendah di antara Negara ASEAN dan China
Laporan terbaru Bank Dunia menyoroti jumlah utang negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang mengalami kenaikan cukup tinggi dalam 13 tahun terakhir atau periode 2010-2023. Khusus utang Indonesia ternyata jadi yang terendah di Antara Negara ASEAN dan China.
"Utang yang lebih tinggi ini tidak hanya terjadi pada suatu negara atau pemerintah saja, namun juga terjadi pada sektor korporasi dan rumah tangga," ungkap Kepala Ekonom Bank Dunia Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Aaditya Mattoo dalam konferensi pers, Senin (2/10/2023).
Dalam laporan East Asia and The Bank Dunia mencatat, utang Pemerintah China telah naik menjadi 51 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di 2023, naik dari 25 persen yang tercatat pada tahun 2010.
Indonesia tercatat mengalami kenaikan utang Pemerintah hingga 39 persen terhadap PDB di 2023 dari 24 persen pada tahun 2010 silam.
Namun, kenaikan utang Pemerintah Indonesia terhadap PDB-nya tergolong rendah dibandingkan negara tetangganya di Asia Tenggara dan China.
Laporan Bank Dunia mencatat, utang Pemerintah Malaysia terhadap PDBnya telah mencapai 49 persen pada tahun 2010 dan naik lebih dari 20 persen menjadi 60 persen terhadap PDB di 2023.
Adapun utang Pemerintah Filipina terhadap PDBnya yang naik dari 48 persen menjadi 57 persen di 2023 dan utang Thailand yang mencapai 54 persen terhadap PDBnya tahun ini.
Di tingkat rumah tangga, utang Indonesia juga mencatat kenaikan yang kecil pada periode 2010-2023.
Bank Dunia mengungkapkan, utang rumah tangga Indonesia terhadap PDB-nya mencatat kenaikan hanya 2 persen dari 14 persen pada 2010 menjadi 16 persen tahun ini.
Utang Negara Lain
Serupa, Vietnam juga mencatat kenaikan utang 2 persen di periode tersebut dari 11 persen pada tahun 2010 menjadi 13 persen di 2023.
Utang rumah tangga tertinggi terjadi di China, di mana negara itu mengalami kenaikan utang dari 27 persen terhadap PDB pada 2010 menjadi 62 persen terhadap PDB tahun ini.
"Utang yang lebih tinggi bagi rumah tangga berarti mereka memiliki sisa uang yang lebih sedikit setelah membayar utang untuk konsumsi, dan utang yang lebih tinggi bagi pemerintah dan sektor korporasi memiliki lebih sedikit sumber daya untuk berinvestasi," beber Aaditya.
Adapun kenaikan utang rumah tangga Malaysia yang telah mencapai 66 persen terhadap PDB-nya, dan Thailand menyentuh 86 persen terhadap PDB-nya.
Sedangkan di korporasi nonfinansial, utang Indonesia naik hingga 9 persen antara 2010-2023, dari 15 persen menjadi 24 persen terhadap PDB.
Kenaikan tertinggi utang korporasi nonfinansial terjadi di China, dari 116 persen terhadap PDB-nya pada tahun 2010 menjadi 172 persen terhadap PDB di 2023.
Kenaikan yang cukup tinggi pada utang korporasi nonfinansial juga terjadi pada Vietnam dari 74 persen terhadap PDB menjadi 112 persen terhadap PDB-nya tahun ini.Â
Advertisement