Sukses

Perubahan Iklim Bikin Ekonomi Global Rugi hingga USD 5 Triliun

Kerugian ekonomi global akibat peristiwa cuaca ekstrem perubahan iklim dengan memperkirakan dampak guncangan pangan dan air terhadap produk domestik bruto global selama periode lima tahun.

Liputan6.com, Jakarta - Kerugian ekonomi global diperkirakan dapat menyentuh USD 5 triliun jika terjadi peningkatan dalam peristiwa cuaca ekstrem terkait perubahan iklim. Hal itu diungkapkan oleh pasar asuransi Lloyd’s of London, dalam studi terbarunya bersama Cambridge Centre for Risk Studies.

Seperti diketahui, cuaca ekstrims dapat menimbulkan risiko kegagalan panen serta kekurangan pangan dan air.

Mengutip Business Times, Kamis (12/10/2023) Lloyd’s memodelkan kerugian ekonomi global akibat peristiwa cuaca ekstrem dengan memperkirakan dampak guncangan pangan dan air terhadap produk domestik bruto global selama periode lima tahun.

Kerugian rata-rata tertimbang pada tiga tingkat keparahan yang dikategorikan antara besar, parah dan ekstrim.

Pada skenario besar, kerugian itu diprediksi mencapai USD 5 triliun selama lima tahun, berkisar dari USD 3 triliun pada skenario tingkat keparahan paling rendah hingga USD 17,6 triliun pada skenario paling ekstrim.

USD 5 triliun merupakan perkiraan kerugian ekonomi dalam periode lima tahun disesuaikan dengan kemungkinan terjadinya peristiwa cuaca ekstrem, sedangkan perkiraan kerugian total ekonomi global adalah sebesar USD 711 miliar, kata Lloyd’s.

 

“Perekonomian global menjadi lebih kompleks dan semakin rentan terhadap ancaman sistemik,” kata Trevor Maynard, direktur eksekutif Risiko Sistemik di Pusat Studi Risiko Cambridge.

Dia menambahkan, penelitian ini akan “membantu dunia usaha dan pembuat kebijakan mengeksplorasi potensi dampak dari skenario cuaca ekstrim”.

Baru Hipotesis

Lloyd’s mengatakan bahwa skenario risiko sistemik, yang memodelkan dampak ekonomi global akibat cuaca ekstrem masih bersifat hipotetis.

Namun dikatakan bahwa upaya ini akan meningkatkan pemahaman dunia usaha dan pembuat kebijakan mengenai paparan mereka terhadap ancaman penting seperti cuaca ekstrem.

Selain itu, Lloyd's juga membuat model untuk peristiwa yang terkonsentrasi di wilayah tertentu – dikatakan bahwa peristiwa cuaca ekstrem yang berpusat di Tiongkok akan menyebabkan kerugian terbesar, sebesar USD 4,6 triliun.

Kawasan Karibia juga diprediksi kehilangan 19 persen PDB-nya selama lima tahun jika peristiwa cuaca ekstrem terkonsentrasi di sana, menurut perkiraan Lloyd.

2 dari 4 halaman

UNICEF: 43 Juta Anak Mengungsi ke 44 Negara Akibat Bencana Imbas Perubahan Iklim

Bencana cuaca yang dipicu oleh perubahan iklim – mulai dari banjir hingga kekeringan, badai hingga kebakaran hutan – memicu 43,1 juta anak mengungsi dari tahun 2016 hingga 2021, UN Children's Fund (Dana Anak-Anak PBB) memperingatkan pada hari Kamis 4 Oktober 2023 sekaligus mengecam kurangnya perhatian yang diberikan kepada para korban.

Dalam laporan komprehensif mengenai masalah tersebut, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan kisah-kisah yang sangat menyayat hati tentang beberapa anak yang terdampak.

Laura Healy, salah satu co-author, menyebut kepada AFP bahwa data ini baru sebagian kecil dari keseluruhan masalah, dan banyak anak lainnya kemungkinan juga terdampak.

"Kami membawa barang-barang kami ke tepi jalan dan tinggal di sana selama beberapa minggu," kisah Khalid Abdul Azim, seorang anak Sudan yang tinggal di desa yang tergenang banjir dan hanya dapat dijangkau dengan perahu.

Pada tahun 2017, kakak beradik Mia dan Maia Bravo menyaksikan api melahap trailer mereka di California dari bagian belakang minivan keluarga.

"Aku takut, terkejut. Aku akan begadang sepanjang malam," kata Maia dalam laporan tersebut.

Melansir dari France24, Minggu (7/10/2023), statistik mengenai pengungsi internal akibat bencana iklim umumnya tidak memperhitungkan usia para korban. Namun, UNICEF bekerja sama dengan Internal Displacement Monitoring Center yang bersifat non-pemerintah untuk mengurai data dan mengungkap dampak tersembunyi pada anak-anak.

Antara tahun 2016 hingga 2021, laporan tersebut menyebutkan bahwa empat jenis bencana iklim (banjir, badai, kekeringan, dan kebakaran hutan) yang semakin sering terjadi akibat pemanasan global telah menyebabkan 43,1 juta anak terpaksa mengungsi di 44 negara. Sebanyak 95 persen pengungsian itu disebabkan oleh banjir dan badai. 

3 dari 4 halaman

20.000 Anak Mengungsi Setiap Hari Akibat Bencana Iklim

Healy mengungkapkan kepada AFP, "Ini berarti sekitar 20.000 anak harus mengungsi setiap hari." Dia menyoroti risiko tambahan bagi anak-anak yang terdampak, seperti terpisah dari orangtua mereka atau bahkan menjadi korban perdagangan manusia.

Data tersebut mencerminkan berapa banyak orang yang harus mengungsi, bukan berapa banyak anak yang terkena dampaknya, karena satu anak mungkin harus mengungsi lebih dari sekali.

Angka-angka ini juga tidak memungkinkan untuk membedakan antara mereka yang dievakuasi sebelum bencana terjadi, dan mereka yang terpaksa meninggalkan tempat setelah bencana tersebut terjadi.

Healy menyatakan bahwa jumlah pengungsian karena kekeringan dilaporkan dengan sangat minim, karena kekeringan terjadi secara perlahan dan sulit untuk diukur dengan tepat.

"Ini hanya puncak gunung es berdasarkan data yang tersedia saat ini," katanya.

Faktanya, dengan dampak dari perubahan iklim atau peningkatan pengawasan terhadap pengungsian dalam kejadian yang berlangsung secara bertahap, jumlah anak yang terpaksa meninggalkan rumah akan meningkat secara signifikan.

4 dari 4 halaman

Keterlambatan Respons Terhadap Tantangan Perubahan Iklim

Diperkirakan bahwa banjir yang terjadi akibat meluapnya sungai dapat menyebabkan 96 juta anak terpaksa mengungsi dalam 30 tahun ke depan. Selain itu, angin siklonik diperkirakan dapat memaksa 10,3 juta orang mengungsi, dan gelombang badai juga dapat mengakibatkan 7,2 juta orang mengungsi.

Tidak satupun dari perkiraan tersebut termasuk evakuasi preventif, "Bagi mereka yang terpaksa mengungsi, ketakutan dan dampaknya bisa sangat menghancurkan, dengan kekhawatiran apakah mereka akan kembali ke rumah, melanjutkan sekolah, atau terpaksa pindah lagi," ungkap Direktur Eksekutif UNICEF, Catherine Russell, dalam sebuah pernyataan.

"Mengungsi mungkin menyelamatkan nyawa mereka, tetapi hal ini juga sangat mengganggu," kata Russell.

"Seiring dengan meningkatnya dampak perubahan iklim, begitu juga dengan pergerakan yang dipicu oleh iklim. Kami memiliki alat dan pengetahuan untuk menanggapi tantangan ini yang semakin meningkat bagi anak-anak, tetapi kita bertindak terlalu lambat."