Liputan6.com, Jakarta Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sebesar USD 3,42 miliar pada September 2023.
Neraca perdagangan Indonesia di bulan September menandai kenaikan sebesar USD 0,3 miliar secara bulanan, dan surplus selama 41 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Baca Juga
Dengan negara mitra dagang, Indonesia mengalami surplus perdagangan barang dengan beberapa negara dan 3 terbesar pada September 2023.
Advertisement
“Dengan 3 terbesar diantaranya kita mengalami surplus perdagangan dengan Amerika Serikat sebesar USD 1,2 miliar, dengan India sebesar USD 1,1 miliar, dan dengan Filipina sebesar USD 0,8 miliar,” jelas Plt. Kepala BPS Amalia Adiniggar dalam siaran rilis BPS pada Senin (16/10/2023).
Amalia menjelaskan, surplus terbesar yang dialami dengan Amerika Serikat karena dikontribusikan oleh perdagangan mesin dan perlengkapan elektrik dan bagiannya, lemak dan minyak hewan nabati, serta pakaian dan aksesorisnya.
“Sementara itu Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan beberapa negara, dan tiga defisien terbesar adalah dengan negara Australia yaitu sebesar USD 0,4 miliar, Thailand USD 0,3 miliar dan Brazil USD 0,2 miliar,” lanjut Amalia.
Defisit terdalam yang dialami dengan Australia karena memang didorong oleh tiga komoditas utama, yaitu serealia atau HS 10 terutama gandum, kemudian bahan bakar mineral atau HS 27 dan juga biji logam terak, dan abu.
Nilai Tukar Rupiah Makin Tertekan, Penyebabnya Masih Soal Inflasi AS
Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Jumat ini. Pelemahan rupiah ini terjadi setelah data inflasi AS masih menunjukkan inflasi belum mengalami penurunan.
Pada Jumat (13/10/2023), nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta melemah sebesar 0,18 persen atau 28 poin menjadi 15.728 per dolar AS dari sebelumnya 15.700 per dolar AS.
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra mengatakan, rupiah melemah hari ini setelah data indeks konsumen AS bulan September 2023 menunjukkan inflasi yang belum turun.
Pada hari ini, dia memperkirakan potensi pelemahan rupiah ke arah 15.730 per dolar AS dengan potensi support sekitar 15.650 per dolar AS.
“Data menunjukkan kenaikan inflasi 3,7 persen sama seperti bulan sebelumnya,” kata Ariston dikutip dari Antara.
Selain itu, data klaim tunjangan pengangguran mingguan AS yang dirilis semalam turut menunjukkan kondisi ketenagakerjaan yang masih solid. Angka klaim masih berkisar 209 ribu seperti pekan lalu.
Hasil ini dinilai mengukuhkan ekspektasi pasar bahwa suku bunga tinggi akan bertahan untuk jangka waktu yang lebih lama.
“Indeks dolar AS kembali menguat di atas 106 setelah sebelumnya bergerak di kisaran 105. Tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS pun terlihat bergerak naik,” ucap Ariston.
Advertisement
Data Inflasi
Data lain yang mempengaruhi rupiah terhadap dolar AS ialah data inflasi China yang baru saja dirilis pagi ini. Tercatat, angka Producer Price Index (PPI) year on year (yoy) -2,5 persen dengan ekspektasi -2,4 persen, lalu Consumer Price Index (CPI) yoy 0,0 persen dengan ekspektasi 0,2 persen, serta CPI month to month sebesar 0,2 persen dengan ekspektasi 0,3 persen.
“Data menunjukkan inflasi yang lebih rendah dari sebelumnya yang bisa diartikan ada penurunan aktivitas ekonomi di China. Ini mungkin juga memberikan tekanan untuk rupiah, di mana China adalah partner dagang besar untuk Indonesia,” ungkapnya.