Liputan6.com, Jakarta Produsen mobil mewah, Rolls-Royce dikabarkan akan mengumumkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di lingkungan perusahaannya.
PHK di Rolls Royce terjadi ketika CEO Tufan Erginbilgic melakukan penyederhanaan mobil pabrikan Inggris tersebut untuk mempersiapkan permintaan mesin pesawat besar.
Melansir The Straits Times, Rabu (18/10/2023) PHK tersebut akan berdampak pada 2.000 hingga 2.500 karyawan Rolls Royce, atau sekitar 6 persen dari staf global Rolls Royce, menurut sejumlah sumber yang mengetahui kabar tersebut.
Advertisement
PHK ini menargetkan tenaga kerja global Rolls Royce, termasuk manajemen senior, kata salah satu sumber. Diketahui, sekitar setengah dari karyawan Rolls-Royce berada di Inggris. Adapun 11.000 karyawan Rolls Royce lainnya di Jerman dan sekitar 5.500 berlokasi di Amerika Serikat.
Perusahaan juga memasukkan Singapura sebagai salah satu dari lima hub globalnya.
Menanggapi pertanyaan dari Straits Times mengenai apakah negara ini terkena dampak pemotongan tersebut, seorang juru bicara mengatakan: “Rolls-Royce sedang memulai transformasi yang akan mendukung ambisi bisnis global kami.
Latihan ini sedang berlangsung dan kami akan membagikannya ke dalam organisasi kami setelah kami mendapatkan informasi terkini mengenai Singapura.”
Rolls Royce terakhir kali memangkas sejumlah besar posisi adalah pada masa-masa awal pandemi Covid-19, ketika sebagian besar pesawat di seluruh dunia dilarang terbang.
Arus kas Rolls-Royce meningkat pesat di 2023, meringankan beban pembayaran bunga seperti halnya kenaikan suku bunga membuat pinjaman menjadi lebih mahal.
Ford dan GM PHK Ratusan Pekerja yang Mogok Kerja
Dua perusahaan otomotif asal Amerika Serikat, General Motors dan Ford melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap ratusan karyawan mereka.
PHK terjadi imbas perluasan pemogokan pekerja otomotif yang diumumkan oleh serikat pekerja United Auto Workers (UAW).
Mengutip CNN Business, Rabu (4/10/2023) General Motors mengatakan pihaknya memberhentikan 164 pekerja di pabriknya di Parma, Ohio, dan Marion, Indiana.
Pabrik-pabrik tersebut biasanya mengirimkan komponen logam yang diarahkan ke jalur perakitan yang telah ditutup karena pemogokan karyawan pabrik di Wentzville, Ohio, dan pabrik perakitan di Lansing, Michigan.
Di antara kendaraan yang dibuat di pabrik tersebut adalah pikap Chevrolet Colorado dan GMC Canyon serta pikap Chevy Traverse dan Buick Enclave.
Namun, sebagian besar pekerja di Parma dan Marion akan tetap bekerja, memproduksi stempel untuk pabrik lain, karena sebagian besar jalur perakitan GM terus beroperasi.
"Kami telah berulang kali mengatakan bahwa tidak ada yang menang dalam suatu pemogokan, dan ini merupakan bukti lain dari fakta tersebut," kata GM dalam pernyataannya.
"Kami akan terus melakukan tawar-menawar dengan itikad baik dengan serikat pekerja untuk mencapai kesepakatan secepat mungkin,” jelasnya.
Kemudian ada juga Ford yang memberhentikan 330 pekerja di Pabrik Stamping Chicago dan Pabrik Mesin Lima menyusul keputusan serikat pekerja pada hari Jumat untuk menyerang pabrik Perakitan Chicago, yang membuat SUV Ford Explorer dan Lincoln Aviator.
"Sistem produksi kami sangat saling berhubungan, yang berarti pemberhentian yang ditargetkan UAW mempunyai dampak yang tidak langsung terhadap fasilitas yang secara tidak langsung menjadi sasaran penghentian pekerjaan," jelas Ford dalam pernyataannya.
Sebelumnya, Ford telah memberhentikan 600 pekerjanya di pabriknya di Wayne, Michigan yang tidak melakukan pemogokan.
Advertisement
Biaya Tunjangan
Dilaporkan, UAW telah menghabiskan biaya USD 500 dalam seminggu sebagai tunjangan mogok kerja kepada lebih dari 25.000 anggotanya yang kini melakukan pemogokan terhadap dua produsen mobil tersebut.
Sebanyak 3.300 anggota yang diberhentikan juga akan menerima USD 500 per minggu dari serikat pekerja, karena dalam sebagian besar kasus, mereka tidak mendapat tunjangan pengangguran, dan perusahaan juga tidak membayar biaya yang menutupi sebagian besar kesenjangan antara pekerja
Total gaji yang hangus di antara anggota UAW, sebelum tunjangan mogok, kini mencapai USD 325 juta selama dua minggu pertama pemogokan yang dimulai tanggal 15 September, menurut perkiraan dari Anderson Economics Group, sebuah perusahaan riset di Michigan.