Liputan6.com, Jakarta Kebijakan yang mengatur industri rokok perlukan keseimbangan dengan memerhatikan aspek kesehatan dan aspek ekonomi. Hal tersebut diungkapkan Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo
Menurut Edy, aspek ekonomi industri hasil tembakau (IHT) menjadi tempat bergantung bagi petani tembakau, petani cengkeh, juga lainnya.
Baca Juga
Advertisement
“Dan, IHT itu menggerakan industri lainnya. Karena itu, harus bijaksana dalam melahirkan kebijakan yang tepat dan berkeadilan,” kata Edy dikutip Kamis (19/10/2023).
Terkait dengan masalah kesehatan, Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) telah merilis hasil survei terkait “Meneropong Fenomena Stunting dan PTM dalam Bingkai Kebijakan Cukai yang Berkeadilan dan Berkelanjutan”.
Kajian tersebut dilakukan oleh PPKE FEB UB untuk menyikapi pro dan kontra penyebab stunting dan penyakit tidak menular (PTM). Riset berbasis data primer dengan melakukan survei pada 1600 responden masyarakat yang berada di beberapa daerah, yakni NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, dan Bali.
Produk Hasil Tembakau
Hasil kajian menunjukkan bahwa produk hasil tembakau seperti rokok bukanlah faktor utama penyebab stunting dan PTM di Indonesia. Akan tetapi pendidikan dan pendapatan yang mendorong terjadinya stunting dan PTM di Indonesia.
Pada stunting, pendapatan juga memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan dalam menurunkan balita stunting melalui sanitasi.
Selain itu, pada PTM, pendapatan dan pendidikan memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM di Indonesia yang masing-masing melalui aktivitas fisik dan pola makan-minum, terutama makanan dan minuman berpemanis.
Konsumsi Produk Tembakau
Direktur PPKE FEB UB, Candra Fajri Ananda mengatakan berdasarkan hasil survei dan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan random forest, faktor dominan penyebab terjadinya PTM di Indonesia adalah pendapatan, makanan dan minuman berpemanis, serta kurangnya konsumsi sayur.
Di sisi lain, berdasarkan analisis menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) menunjukkan bahwa pendidikan, pendapatan, dan kepemilikan jaminan kesehatan memiliki berpengaruh signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM di Indonesia. Hasil kajian juga menyatakan konsumsi produk hasil tembakau seperti rokok dan lingkungan yang terkontaminasi oleh asap rokok bukan indikator utama penyebab PTM di Indonesia.
Berbagai kalangan menyikapi hasil kajian tersebut. Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo mengatakan DPR sudah memberikan perhatian khusus terhadap kebijakan penanganan stunting.
Legislator PDI Perjuangan ini menambahkan dalam RAPBN 2024 sudah dimasukan target penurunan kemiskinan ekstrim dan ada 3 hal pokok yang utama, yakni menjaga inflasi, menurunkan kemiskinan ekstrim maksimal 1%, dan penanganan stunting.
“Penanganan stunting ini menjadi target dan menurut saya ini harus diakselerasi, kami menginginkan penurunan yang cepat dalam penanganan stunting,” ujarnya, Kamis (19/10/2023).
Advertisement
Industri Rokok Kretek Tumbuh Lagi, Siap Tambah Lapangan Kerja Baru
Setelah lama mengalami tekanan akibat kenaikan cukai yang tinggi hingga tantangan saat pandemi, kini sektor sigaret kretek tangan (SKT) perlahan mulai bangkit dan kembali mulai membuka tambahan lapangan pekerjaan yang dapat membantu menggerakkan roda perekonomian.
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) sebagai wadah para pekerja SKT pun menyampaikan rasa syukurnya seraya mengapresiasi pemerintah yang konsisten memberikan perlindungan bagi industri padat karya ini.
“Dapat dikatakan industri SKT mulai membaik dan ini sangat kami syukuri. Bahkan ada pabrik yang menambah tenaga kerja baru,” kata Sudarto,
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI. Fenomena ini pun seperti angin segar bagi industri yang sempat lesu akibat tekanan pandemi dan kenaikan cukai.
“Oleh karena itu, kami sangat mengapresiasi pemerintah yang telah mempertimbangkan industri padat karya ini dalam menentukan kebijakan. Berkat berbagai kebijakan yang pro-perlindungan SKT, industri SKT sudah mulai membaik dan terjadi peningkatan serapan tenaga kerja SKT. Pelan-pelan SKT mulai bangkit lagi,” imbuhnya.
Layak Dilindungi
RTMM menilai industri SKT memang layak diberikan perlindungan dari pemerintah atas kontribusinya yang besar secara sosial dan ekonomi.
“Pekerja SKT itu ratusan ribu yang sebagian besar perempuan. Industri SKT juga memberdayakan perempuan, karena sekalipun dengan tingkat pendidikan yang terbatas, mereka bisa bekerja di sektor formal. Ini merupakan kontribusi yang sangat besar dari industri SKT, karena dengan bekerja sebagai pelinting SKT, para ibu-ibu pelinting bisa lebih sejahtera,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Sudarto, para pelinting kini bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Secara ekonomi, industri SKT juga menambah pendapatan daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
“Tapi sebenarnya tidak itu saja, industri SKT juga memiliki efek pengganda yang luar biasa terhadap perekonomian daerah khususnya sentra tembakau di sekitar pabrikan. Keberadaan SKT mendorong terciptanya bermacam-macam aktivitas ekonomi,” katanya.
Advertisement