Liputan6.com, Jakarta Pemerintah terus berupaya menjadikan sumber energi di Indonesia lebih ramah lingkungan. Salah satunya dengan melakukan pensiun dini kepada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Salah satu skema yang dipakai saat melakukan pensiun dini PLTU adalah skema menurunkan secara bertahap (phase down). Seperti dilakukan PT PLN.
Baca Juga
Direktur Manajemen Resiko PT PLN (Persero) Suroso Isnandar menyatakan pendekatan pensiun dini PLTU dengan sistem coal phase down dilakukan pada yang berbahan bakar batu bara.
Advertisement
Menurut Suroso, pendekatan coal phase down ini artinya PLTU tidak dihentikan operasionalnya, tetapi pemerintah tidak membongkarnya.
"Pendekatan coal phase down dipilih karena ekonomi kita masih tumbuh ditopang oleh energi listrik yang sebagian besar masih dari PLTU batu bara," kata Suroso melansir Antara di Jakarta.
Suroso mencontohkan, pendekatan tersebut sudah mulai diterapkan salah satunya di PLTU Suralaya, Cilegon, Banten yang dioperasikan PT Indonesia Power.
PLTU Suralaya pada unit 1,2,3,4 yang masing-masing berkapasitas 400 MW atau 1.600 MW dipastikan telah memasuki masa pensiun tahun ini.
Namun, dia menyebutkan, pemerintah masih belum membongkar bangunan PLTU tersebut karena dikhawatirkan sewaktu-waktu akan masih difungsikan untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayahnya. “Selanjutnya PLN juga menargetkan 52 unit PLTU batu bara akan pensiun dini hingga 2030,” jelas dia.
Pensiun dini PLTU batu bara merupakan bagian dari upaya untuk mencapai target net zero emisi pada tahun 2060, mengingat pembakaran energi fosil menghasilkan pembuangan gas rumah kaca yang besar.
Sebagai pengganti PLTU, Perusahaan Listrik Negara tersebut telah mencanangkan penggunaan yang memanfaatkan secara penuh energi baru terbarukan (ETB) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2023-2030.
RUPTL PT PLN tersebut menargetkan bauran EBT di antaranya dari pembangkit listrik tenaga surya, hidro, panas bumi, hingga biomassa mencapai 31 persen pada tahun 2030.
RI Tak Perlu Cepat-Cepat Matikan PLTU Batu Bara
Pemerintah telah menyiapkan program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap, atau PLTU batu bara untuk mendukung pengurangan emisi karbon di dalam negeri. Namun, kebijakan itu diminta tidak gegabah dieksekusi lantaran bakal berimbas negatif terhadap ekonomi.
Anggota Dewan Energi Nasional sekaligus Guru Besar UI, Rinaldy Dalimi, tak memungkiri jika mematikan PLTU berbahan bakar batu bara jadi cara paling efektif untuk mengurangi emisi.
Saat ini, Rinaldy mengatakan, sejumlah negara maju telah berusaha untuk melakukan pensiun dini PLTU batu bara, dan menggantikannya dengan pembangkit listrik energi terbarukan.
"Indonesia tidak harus cepat-cepat mematikan PLTU-nya, karena PLTU batu bara adalah pasokan listrik utama kita. Biarkan PLTU beroperasi sesuai dengan nilai keekonomiannya, karena Indonesia bukan penghasil emisi yang besar. Tidak termasuk 15 negara terbesar penghasil emisi di dunia," ujarnya di Menara Bidakara, Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Advertisement
Dinilai Latah
Menurut dia, jika Indonesia latah cepat-cepat mematikan PLTU dan menggantikannya dengan pembangkit energi terbarukan, maka akan merugikan secara ekonomis.
"Biaya produksi listrik meningkat, juga merugikan secara teknis, karena karakteristik energi terbarukan yang fluktuatif. Sehingga dapat mengganggu ketahanan energi nasional kita," imbuh Rinaldy.
"Apabila Indonesia ikut-ikutan seperti negara maju untuk mematikan PLTU dan menggantikannya dengan energi terbarukan, akan mengakibatkan biaya transisi energi akan sangat besar," ungkap dia.
Mengacu pada perhitungan PLN, Rinaldy menambahkan, biaya transisi energi dengan memasang teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCUS) di PLTU batu bara butuh ongkos luar biasa besar, mencapai USD 700 miliar.
Untuk mengurangi biaya tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan negative load dari rooftop dan PLTS. Sebagai contoh, ia menyebut jika kebutuhan listrik berkurang 200 MW akibat penggunaan rooftop dan PLTS, maka matikan PLTU 200 MW.
"Jika negative load mencapai 400 MW, matikan PLTU 400 MW, dan seterusnya. Sehingga, biaya yang dikeluarkan untuk transisi energi dengan cara ini akan tidak terlalu besar, karena investasi rooftop dan PLTS akan ditanggung oleh konsumen, bukan oleh pemerintah," tuturnya.