Liputan6.com, Jakarta Ketua Federal Reserve Jerome Powell melihat inflasi Amerika Serikat masih terlalu tinggi meskipun sudah terjadi perlambatan. Hal ini membuka kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed.
"Bukti tambahan dari pertumbuhan yang terus-menerus di atas tren atau tanda-tanda baru pengetatan pasar tenaga kerja dapat membenarkan pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut," ungkap Powell dalam sebuah konferensi di New York.
Baca Juga
Powell mengatakan bahwa sikap kebijakan The Fed saat ini bersifat "restriktif", yang menunjukkan bahwa kebijakan moneter berupaya untuk memberikan stabilitas terhadap aktivitas ekonomi dan inflasi.
Advertisement
"Perekonomian AS menangani suku bunga yang jauh lebih tinggi setidaknya untuk saat ini tanpa kesulitan," katanya.
"Apakah kebijakan saat ini terasa terlalu ketat? Saya harus mengatakan tidak," tambah Powell.
Data terbaru menunjukkan berlanjutnya kekuatan ekonomi AS yang didukung oleh ketahanan belanja konsumen, sementara pasar tenaga kerja yang ketat menunjukkan tanda-tanda pelemahan.
Powell mengakui, berbagai ketidakpastian, baik yang lama maupun yang baru mempersulit kebijakan moneter.
The Fed baru-baru ini memperlambat pengetatan moneternya yang menaikkan suku bunga acuannya ke level tertinggi dalam 22 tahun, dengan tujuan untuk memperlambat inflasi tanpa mendorong perekonomian AS ke dalam resesi.
Inflasi umum, yang diukur dengan ukuran The Fed, telah berkurang lebih dari setengahnya sejak mencapai puncak pada bulan Juni 2022 lalu, namun masih tertahan di atas target jangka panjang sebesar 2 persen.
“Inflasi masih terlalu tinggi, dan data dalam beberapa bulan hanyalah permulaan dari apa yang diperlukan untuk membangun keyakinan bahwa inflasi bergerak turun secara berkelanjutan menuju tujuan kita," jelas Powell.
"Kita belum bisa mengetahui berapa lama angka yang lebih rendah ini akan bertahan, atau di mana inflasi akan stabil pada kuartal-kuartal mendatang," lanjutnya, seraya menambahkan bahwa The Fed akan melanjutkan pertemuan suku bunganya dengan hati-hati di masa mendatang.
Â
Â
Bergantung pada Data
"The Fed tidak terburu-buru untuk memperketat kebijakan moneter lebih lanjut. Kenaikan suku bunga di bulan November dapat diperkirakan dengan aman," tulis Kepala Ekonom EY Gregory Daco dalam sebuah catatan kepada kliennya.
Powell pun menegaskan, keputusan The Fed mendatang akan didasarkan pada totalitas data yang masuk, prospek yang berkembang, dan keseimbangan risiko.
Advertisement
Bursa Saham Asia Loyo Terseret Komentar Ketua The Fed Jerome Powell
Bursa saham Asia Pasifik merosot pada perdagangan Jumat, (20/10/2023). Bursa saham Asia Pasifik melanjutkan tekanan dari aksi jual pada perdagangan Kamis pekan ini.
Koreksi bursa saham Asia Pasifik terjadi seiring Ketua The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat (AS) Jerome Powell menuturkan, inflasi masih terlalu tinggi dan kemungkinan memerlukan pertumbuhan ekonomi lebih rendah. Demikian dikutip dari CNBC, Jumat pekan ini.
Meski data terbaru menunjukkan kemajuan menuju perlambatan harga, Jerome Powell juga menambahkan kebijakan moneter belum terlalu ketat.
Investor Asia juga akan menilai data inflasi Jepang pada September 2023 yang mencapai 3 persen, 18 bulan berturut-turut di atas target Bank of Japan sebesar 2 persen, serta suku bunga pinjaman China untuk satu tahun dan lima tahun.
Di Australia, indeks ASX 200 melemah 0,96 persen pada awal sesi perdagangan. Indeks Nikkei 225 turun 0,87 persen setelah data rilis inflasi. Indeks Topix terpangkas 0,61 persen.
Di Korea Selatan, indeks Kospi terpangkas 1,23 persen, dan memimpin koreksi di Asia. Sedangkan indeks Kosdaq merosot 1,59 persen.
Indeks Hang Seng berjangka berada di posisi 17.294, lebih lemah dari penutupan perdagangan terakhir di kisaran 17.295,89.
Di wall street, tiga indeks acuan melemah setelah komentar Powell dan kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) bebani pasar. Imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun sentuh 4,996 persen menjadi 5 persen, dan posisi itu terakhir pada 2007.
Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Dow Jones merosot 0,75 persen, indeks S&P 500 susut 0,85 persen. Indeks Nasdaq terpangkas 0,96 persen.
Penutupan Bursa Saham Asia Pasifik pada 19 Oktober 2023
Sebelumnya diberitakan, bursa saham Asia Pasifik alami aksi jual pada perdagangan saham Kamis, 19 Oktober 2023. Di bursa saham Korea Selatan, Hong Kong dan China masing-masing turun sekitar 2 persen.
Dikutip dari CNBC, hal ini juga mencerminkan pergerakan di wall street saat imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat melonjak ke level tertinggi dengan menembus 4,9 persen, untuk pertama kalinya sejak 2007.
Sementara itu, tingkat rata-rata suku bunga hipotek tetap 30 tahun mencapai 8 persen, tertinggi sejak 2000.
Jepang mencatat surplus perdagangan lebih tinggi dari perkiraan yang mencapai 62,4 miliar yen (USD 416,6 juta) pada September. Sedangkan data dari Australia menunjukkan tingkat pengangguran turun menjadi 3,6 persen pada bulan lalu.
Di Australia, indeks ASX 200 anjlok 1,36 persen ke posisi 6.981,6. Indeks Hang Seng merosot 2,43 persen, dan memimpin koreksi di Asia.
Sementara itu, indeks CSI 300 turun 2,13 persen, dan ditutup ke posisi 3.533,54, dan mendekati level terendah dalam 12 bulan.
Indeks Jepang Nikkei 225 merosot 1,91 persen ke posisi 31.430,62. Indeks Topix tergelincir 1,36 persen ke posisi 2.264,16 setelah rilis data perdagangan.
Indeks Kospi Korea Selatan merosot 1,9 persen ke posisi 2.415,8. Namun, indeks Kosdaq merosot 3,07 persen ke posisi 784,04, yang merupakan level terendah dalam tujuh bulan.
Di sisi lain, bank sentral Korea Selatan tetap pertahankan suku bunga acuan 3,5 persen.
Advertisement