Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Jumat ini. Pelemahan rupiah ini karena tekanan dari faktor eksternal terutama dari Bank Sentral AS atau the Fed.
Pada Jumat (20/10/2023), nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta melemah sebesar 0,19 persen atau 30 poin menjadi Rp 15.845 per dolar AS dari sebelumnya Rp 15.815 per dolar AS.
Baca Juga
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra mengatakan, rupiah berpotensi melemah terhadap dolar AS karena indikasi kebijakan suku bunga tinggi Bank Sentral AS.
Advertisement
“Semalam, Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell memberikan sinyal bahwa kebijakan suku bunga tinggi masih diperlukan untuk menurunkan inflasi AS ke level 2 persen. Tapi, Powell juga memberikan indikasi bahwa The Fed tidak terburu-buru menaikkan suku bunga acuan lagi karena tingkat imbal hasil obligasi yang tinggi di AS sudah membantu meredam inflasi,” ungkap dia dikutip dari Antara.
Selain itu, ketegangan di Timur Tengah yang masih berlangsung turut menjadi kekhawatiran pasar yang mendorong pelaku pasar masuk ke aset aman, yaitu emas dan dolar AS.
Kondisi Dalam Negeri
Melihat kondisi dalam negeri, kenaikan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate menjadi 6 persen atau sebesar 0,25 basis poin (bps) dari 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG BI) pada 18-19 Oktober 2023 meredam pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
Pelemahan rupiah langsung berkurang pasca diumumkan kenaikan suku bunga acuan tersebut. Menurut dia, kebijakan itu mungkin bisa meredam penguatan dolar AS terhadap rupiah hari ini.
“Potensi pelemahan hari ini mungkin tertahan di bawah Rp15.850 per dolar AS dengan potensi support di sekitar Rp15.780 per dolar AS,” ucap Ariston.
Rupiah Nyaris 16.000 per Dolar AS, BI Klaim Masih Lebih Baik dari Ringgit Malaysia
Gubernur Bank Indonesia (BI) mengklaim pelemahan nilai tukar Rupiah (depresiasi) terhadap mata uang Dolar Amerika Serikat (USD) masih lebih baik dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) maupun Jepang. Meskipun, nilai tukar rupiah nyaris menyentuh Rp 16.000 per USD.
"Nilai tukar Rupiah terdepresiasi 1,03 persen year to date (ytd), relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan dan global tersebut," kata Perry di Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Perry mencontohkan, mata uang utama Dunia seperti Yen Jepang, Dolar Australia, dan Euro mencatatkan tren depresiasi jauh lebih dalam ketimbang Rupiah. Masing-masing mata uang tersebut melemah hingga 12,44 persen, 6,61 persen, dan 1,40 persen secara year to date.
Pun, dibandingkan mata uang di kawasan ASEAN tren pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS juga masih lebih baik. Di mana depresiasi mata uang kawasan, seperti Ringgit Malaysia, Baht Thailand, dan Peso Filipina masing-masing terdepresiasi sebesar 7,23 persen, 4,64 persen, dan 1,73 persen secara year to date.
"Kuatnya dolar AS menyebabkan tekanan pelemahan berbagai mata uang negara lain, termasuk nilai tukar Rupiah," tegas Gubernur Bank Indonesia.
Advertisement
Bank Indonesia Tetap Waspada
Untuk itu, Bank Indonesia tetap mewaspadai tren penguatan dolar AS yang dapat mengancam stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global. Antara lain dengan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian imported inflation.
Selain intervensi di pasar valuta asing, Bank Indonesia mempercepat upaya pendalaman pasar uang Rupiah dan pasar valuta asing. Yakni, melalui optimalisasi SRBI dan penerbitan instrumen-instrumen lain untuk meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan domestik dan menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri.
"Koordinasi dengan Pemerintah, perbankan, dan dunia usaha terus ditingkatkan dan diperluas untuk implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023," ujar Perry mengakhiri.