Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, dunia saat ini semakin tidak jelas, bahkan tantangan yang dihadapi bukannya berkurang malah semakin bertambah. Mulai dari ancaman perubahan iklim, pelemahan ekonomi global, hingga konflik Rusia-Ukraina dan konflik Israel dan Hamas.
Menurutnya, perubahan iklim yang dulunya di anggap sesuatu yang masih absurb tapi sekarang sudah nyata. Kekeringan super El Nino betul-betul dirasakan dan produksi beras turun hampir di semua negara.
Baca Juga
"22 negara mengerem menstop tidak ekspor berasnya lagi, tidak pernah kita hitung tetapi muncul," kata Jokowi dalam acara BNI Investor Daily Summit 2023, di Hutan Kota By Plataran, Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Advertisement
Kemudian Jokowi menyoroti pelemahan ekonomi global. Dimana kebijakan kenaikan suku bunga yang tinggi dalam waktu yang lama yang dilakukan Amerika Serikat dinilai semakin merugikan, utamanya bagi negara-negara yang berkembang.
"Capital outflow semuanya lari balik ke Amerika, semakin juga merumitkan kita semuanya," ujarnya.
Di sisi lain, perang Rusia dan Ukraina juga belum jelas kapan berakhirnya. Selanjutnya, muncul lagi perang antara Hamas dan Israel yang dinilai semakin mengkhawatirkan semua negara. Jokowi pun khawatir perang Israel dan Hamas bisa melebar ke negara Timur Tengah lainnya, sehingga menyebabkan harga minyak melonjak.
"Karena larinya nanti bukan hanya perangnya di Israel dan di Palestina, tetapi kalau meluas melebar ke Lebanon melebar ke siria melebar dengan Iran, maka akan semakin merugikan masalah ekonomi semua negara karena harga minyak pasti akan naik," ujarnya.
Terkahir Jokowi mengecek harga minyak Brent masih dikisaran USD 89 Per barel. Namun, jika konflik antara Israel dan Hamas melebar maka kemungkinan harga minyak bisa menembus USD 150 per barel.
"Saya cek kemarin harga Brent masih USD 89 per barel kalau meluas seperti yang saya sampaikan kita nggak ngerti bisa mencapai USD 150 per barel. Inilah yang harus Kita waspadai hati-hati semuanya baik sisi moneter maupun sisi fiskal," ujar Jokowi.
BI Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Jadi 2,9% di 2023
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9 persen pada 2023, sebelumnya dikisaran 2,7 persen. Hal itu disampaikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia Oktober, Kamis (19/10/2023).
"Pertumbuhan ekonomi pada 2023 diprakirakan sebesar 2,9 persen dan melambat menjadi 2,8 persen pada 2024 dengan kecenderungan risiko yang lebih rendah," kata Perry.
Lebih lanjut, Perry mengatakan ekonomi global melambat dengan ketidakpastian yang semakin meningkat tinggi. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melemah dan disertai divergensi pertumbuhan antar​negara yang semakin melebar.
Kendati begitu, di sisi lain ekonomi Amerika Serikat (AS) pada 2023 masih tumbuh kuat terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi domestik, sedangkan Tiongkok melambat dipengaruhi oleh pelemahan konsumsi dan penurunan kinerja sektor properti.
Disamping itu, meningkatnya ketegangan geopolitik mendorong harga energi dan pangan meningkat, sehingga mengakibatkan tetap tingginya inflasi global.
Advertisement
Inflasi Global
Adapun untuk mengendalikan inflasi, suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate (FFR), diperkirakan akan tetap bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama (higher for longer).
BI memperkirakan kenaikan suku bunga global akan diikuti pada tenor jangka panjang dengan kenaikan yield obligasi Pemerintah negara maju, khususnya AS (US Treasury), akibat peningkatan kebutuhan pembiayaan utang Pemerintah, dan kenaikan premi risiko jangka panjang (term-premia).
"Berbagai perkembangan tersebut mendorong pembalikan arus modal dari negara Emerging Market Economies (EMEs) ke negara maju dan ke aset yang lebih likuid, yang mengakibatkan dolar AS menguat secara tajam terhadap berbagai mata uang dunia," ujarnya.
Perry pun menyoroti bahwa ketidakpastian ekonomi dan keuangan global semakin tinggi karena terjadi bersamaan dengan meningkatnya ketegangan geopolitik, dan karenanya memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global terhadap ketahanan ekonomi domestik di negara-negara EMEs, termasuk Indonesia.Â