Sukses

Rupiah Kembali Melemah ke 15.907 per Dolar AS, Obligasi AS Jadi Gara-garanya

Analis pasar mata uang Lukman Leong memperkirakan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini sebagai dampak dari kenaikan imbal hasil obligasi AS menjelang rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal III 2023 pada malam ini.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali bergerak melemah pada perdagangan Kamis ini setelah sebelumnya sempat menguat. Pelemahan rupiah ini terjadi kerena dampak kenaikan imbal hasil obligasi AS. 

Pada Kamis (26/10/2023), nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta melemah sebesar 0,23 persen atau 37 poin menjadi 15.907 per dolar AS dari sebelumnya 15.870 per dolar AS.

Analis pasar mata uang Lukman Leong memperkirakan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini sebagai dampak dari kenaikan imbal hasil obligasi AS menjelang rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal III 2023 pada malam ini.

"(Rupiah diperkirakan) berkisar 15.850 per dolar AS-15.950 per dolar AS," ujar dia dikutip dari Antara.

Lukman Leong mengatakan imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik tipis, melanjutkan pergerakan menuju level tertinggi dalam 16 tahun sebesar 5 persen yang sempat ditembus pada awal pekan.

Imbal hasil obligasi 10 tahun terakhir berada di 4,9506 persen pada Rabu 25 Oktober 2023. Adapun Data PDB AS kuartal III 2023 diperkirakan akan tumbuh kuat 4,3 persen.

"Pidato Powell (Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell) semalam juga cenderung sedikit lebih hawkish. Tidak ada data ekonomi dari China hari ini, ekonomi China yang masih di bawah harapan akan terus menekan mata uang regional dan Asia, termasuk rupiah," ungkap Lukman.

Pidato tersebut merupakan yang terakhir bagi The Fed sebelum periode lockdown menjelang rapat Federal Open Market Committee (FOMC) minggu depan

Memasuki Jumat 27 Oktober 2023, investor tertuju data inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) Price Index AS yang diprediksi meningkat 0,3 persen month to month (MoM) dan 3,7 persen year on year (YoY).

2 dari 3 halaman

Rupiah Masih Jeblok, Sri Mulyani Tak Cemas

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sebetulnya kondisi rupiah berada dalam posisi yang relatif baik, depresiasinya hanya 0,7 persen secara Year to Date (YTD).

"Dengan capital outflow yang cukup terjadi pada bulan September-Oktober ini maka kita lihat pergerakan nilai tukar kita sebetulnya rupiah kita dalam posisi yang relatif baik depresiasinya," kata Sri Mulyani dalam konferensi Pers APBN KiTa Oktober, Rabu (25/10/2023).

Menurutnya, banyak masyarakat Indonesia yang melihat pelemahan rupiah itu dari nominalnya terhadap US Dollar. Padahal, jika dilihat dari pergerakan nilai tukar secara ytd, depresiasinya hanya 0,7 persen.

"Meskipun orang Indonesia lihatnya nominal. Kalau kita lihat pergerakan nilai tukar year to date depresiasiny di 0,7 persen. Jadi, penyebabnya mungkin bukan rupiahnya tapi mungkin dollarnya yang menguat," ujarnya.

Alhasil dengan menguatnya US Dollar tersebut membuat banyak mata uang beberapa negara mengalami pelemahan

 

3 dari 3 halaman

Kata Bank Indonesia

Sedangkan Gubernur Bank Indonesia (BI) mengklaim pelemahan nilai tukar Rupiah (depresiasi) terhadap mata uang Dolar Amerika Serikat (USD) masih lebih baik dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) maupun Jepang. Meskipun, nilai tukar rupiah nyaris menyentuh Rp 16.000 per USD.

"Nilai tukar Rupiah terdepresiasi 1,03 persen year to date (ytd), relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan dan global tersebut," kata Perry di Jakarta, Kamis (19/10/2023).

Perry mencontohkan, mata uang utama Dunia seperti Yen Jepang, Dolar Australia, dan Euro mencatatkan tren depresiasi jauh lebih dalam ketimbang Rupiah. Masing-masing mata uang tersebut melemah hingga 12,44 persen, 6,61 persen, dan 1,40 persen secara year to date.

Pun, dibandingkan mata uang di kawasan ASEAN tren pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS juga masih lebih baik. Di mana depresiasi mata uang kawasan, seperti Ringgit Malaysia, Baht Thailand, dan Peso Filipina masing-masing terdepresiasi sebesar 7,23 persen, 4,64 persen, dan 1,73 persen secara year to date.

"Kuatnya dolar AS menyebabkan tekanan pelemahan berbagai mata uang negara lain, termasuk nilai tukar Rupiah," tegas Gubernur Bank Indonesia.

Â