Sukses

S&P Ramal Pelemahan Real Estat Bikin Ekonomi Tiongkok Susut ke 2,9% di 2024

S&P memperkirakan penjualan properti Tiongkok akan turun pada tahun 2024 hingga 25 persen.

Liputan6.com, Jakarta S&P Global Ratings memperkirakan ekonomi Tiongkok bisa turun di bawah 3 persen pada tahun 2024 jika perlambatan sektor properti semakin parah.

Mengutip Straits Times, Kamis (26/10/2023) S&P memperkirakan penjualan properti Tiongkok akan turun pada tahun 2024 hingga 25 persen dari tahun 2022, menjadi sekitar 10 triliun yuan.

S&P menjelaskan bahwa penurunan ini akan menyusutkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil Tiongkok menjadi 2,9 persen pada 2024.

Kemungkinan penurunan ini akan terjadi sebesar 20 persen, karena Beijing tidak memberikan stimulus pemerintah yang signifikan terhadap sektor ini, maupun dukungan fiskal atau moneter yang bersifat diskresi, kata S&P.

"Kerugian properti menyeret pemulihan ekonomi Tiongkok, yang selanjutnya berdampak pada penjualan properti dalam putaran umpan balik negatif," kata Eunice Tan, kepala penelitian kredit untuk Asia-Pasifik di S&P Global Ratings.

Bahkan ketika data ekonomi terbaru melampaui perkiraan dan mencapai target pertumbuhan pemerintah sebesar 5 persen pada tahun 2023, pesimisme masih tetap ada.

Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan Oktober menurunkan perkiraan pertumbuhan Tiongkok pada tahun 2024 menjadi 4,2 persen karena hambatan serius dari sektor real estat.

Seperti diketahui, sektoe real estate menyumbang sekitar 13 persen PDB Tiongkok, meskipun S&P mengatakan total kontribusinya kira-kira dua kali lebih besar. Hal ini menimbulkan efek domino permasalahan pada sistem keuangan dan profil fiskal pemerintah daerah.

Langkah-langkah untuk mendorong pembelian rumah sejauh ini tidak banyak membantu memperlambat kemerosotan ekonomi. Harga rumah baru di kota-kota besar turun pada laju tercepat dalam hampir satu tahun pada bulan September.

Nilai output sektor real estat secara keseluruhan mengalami kontraksi 2,7 persen pada kuartal ketiga, penurunan kuartalan terbesar pada tahun 2023, menurut biro statistik Tiongkok.

Dalam skenario dasar S&P, penjualan properti akan turun antara 10 persen dan 15 persen pada tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya, dan menyusut lagi sebesar 5 persen pada tahun 2024.

Pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan turun menjadi 4,4 persen dalam skenario tersebut, sejalan dengan perkiraan median sebesar 4,5 persen dalam survei Bloomberg baru-baru ini.

2 dari 4 halaman

IMF: Sektor Real Estat China Melempem Tekan Ekonomi Global

Pasar real estat China masih menjadi hambatan dan dikhawatirkan akan memberikan tekanan pada ekonomi global.

Hal itu disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF), mengingatkan bahwa perlambatan di sektor properti tidak hanya berdampak pada China, namun juga pertumbuhan global.

"Prospek global menghadapi tekanan dari memburuknya krisis properti di China, sikap kebijakan yang ketat di seluruh dunia, konsekuensi perang Rusia-Ukraina, konflik terbaru, dan meningkatnya fragmentasi geoekonomi," kata Krishna Srinivasan, direktur IMF untuk Asia dan Pasifik dikutip dari CNN Business, Jumat (20/10/2023).

Harga rumah baru di China turun pada bulan September, penurunan bulan ketiga berturut-turut, menurut data yang dirilis pada hari Kamis oleh Biro Statistik Nasional (NBS), meskipun ada upaya Beijing untuk menopang sektor ini.

Pelemahan yang terus-menerus di pasar perumahan menghambat pemulihan ekonomi China.

Namun, Produk domestik bruto China telah meningkat lebih baik dari perkiraan sebesar 4,9 persen pada kuartal ketiga, menurut NBS. Pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan belanja konsumen yang kuat.

Srinivasan mengatakan, China perlu memiliki strategi komprehensif untuk mengatasi masalah real estat, yang mencakup memastikan semua rumah yang dibiayai sebelumnya dibangun.

Di China, sebagian besar rumah baru dijual sebelum dibangun.

"Ada masalah dengan pengembang, yang perlu diselesaikan," katanya.

"Sampai hal itu selesai, hal itu akan memengaruhi kepercayaan diri," jelas Srinivasan.

IMF baru-baru ini menurunkan perkiraan pertumbuhan China menjadi 5 persen untuk sisa tahun 2023 dan 4,2 persen untuk tahun 2024, dengan alasan penurunan properti yang lebih dalam.

3 dari 4 halaman

Di Pertemuan IMF-World Bank, Indonesia Bahas Strategi Hadapi Tekanan Inflasi

Perekonomian global menunjukkan penguatan, namun pemulihan masih berlangsung lambat dan tidak berimbang. Aktivitas global saat ini masih belum kembali ke level pre-pandemi.

Terdapat pula divergensi pertumbuhan yang semakin meluas di berbagai kawasan serta tantangan yang terus muncul mulai dari konsekuensi jangka panjang dari COVID-19, perang di Ukraina dan meningkatnya fragmentasi geoekonomi, dampak kebijakan moneter ketat dalam rangka mengatasi tekanan inflasi, berkurangnya stimulus fiskal akibat tingkat utang yang sudah tinggi, serta implikasi dari cuaca ekstrem.

Hal ini mengemuka dalam rangkaian Pertemuan Tahunan International Monetary Fund dan World Bank (IMF-World Bank), termasuk di dalamnya pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara G20 (FMCBG) ke empat, diselenggarakan pada tanggal 10-15 Oktober 2023 di Marakesh, Maroko.

Pertemuan turut dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati.

Menghadapi kondisi ekonomi yang kompleks, pada rangkaian pertemuan tersebut, Gubernur Perry Warjiyo mendorong penggunaan bauran kebijakan bank sentral yang tidak bertumpu pada satu instrumen kebijakan saja namun mengkombinasikan berbagai kebijakan yaitu kebijakan suku bunga, kebijakan makroprudensial dan kebijakan stabilitas nilai tukar, serta menjelaskan strategi Indonesia dalam menghadapi tekanan inflasi yang berasal dari sisi supply maupun dari sisi demand dengan koordinasi kuat antara otoritas moneter dan fiskal.

Selain itu, Gubernur Perry Warjiyo juga menyoroti pentingnya upaya untuk mengatasi kondisi global yang terfragmentasi dengan berbagai upaya a.l. membuka kesempatan investasi, hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam, dan terus mendorong pengembangan UMKM dengan mengembangkan cross border payment (CBP) untuk meningkatkan keterhubungan UMKM dengan pasar yang lebih luas.

Dalam merespons kondisi global tersebut, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral akan segera menyepakati Global Policy Agenda yang mengangkat tema membangun kesejahteraan dan ketahanan bersama (Building Shared Prosperity And Collective Resilience).

4 dari 4 halaman

IMF Pangkas Ramalan Pertumbuhan Ekonomi China dan Eropa

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook terbarunya memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan zona euro.

Melansir Channel News Asia, Rabu (11/10/2023), IMF memproyeksi pertumbuhan PDB Tiongkok meningkat sebesar 5,0 persen pada tahun 2023 dan 4,2 persen pada tahun 2024.

Angka ini mencerminkan revisi ke bawah masing-masing sebesar 0,2 dan 0,3 poin persentase, terutama karena krisis real estate di negara tersebut dan lemahnya permintaan eksternal.

IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi zona euro menjadi 0,7 persen pada tahun 2023 dan 1,2 persen pada tahun 2024, turun dari perkiraan masing-masing pada bulan Juli sebesar 0,9 persen dan 1,5 persen.

Inggris, yang sama seperti zona euro, sangat terpukul oleh guncangan biaya energi yang tinggi, namun perkiraan pertumbuhannya dinaikkan sebesar 0,1 poin persentase menjadi 0,5 persen pada tahun 2023, kemudian dipangkas lagi 0,4 poin persentase menjadi 0,6 persen untuk tahun 2024.

Sementara itu, IMF mempertahankan perkiraan pertumbuhan Produk Domestik (PDB) riil global di sisa tahun 2023 sebesar 3,0 persen.

Namun IMF memangkas perkiraan pertumbuhan global tahun 2024 sebesar 0,1 poin persentase menjadi 2,9 persen dari perkiraan bulan Juli. Output dunia tumbuh 3,5 persen pada tahun 2022.

Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengatakan bahwa ekonomi global terus pulih dari pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukraina, dan krisis energi tahun lalu, namun tren pertumbuhan semakin berbeda di seluruh dunia, dan prospek pertumbuhan jangka menengah semakin tidak menentu.

Gourinchas mengungkapkan, perkiraan secara umum menunjukkan soft landing, namun IMF tetap mengkhawatirkan risiko terkait krisis real estat di Tiongkok, harga komoditas yang bergejolak, fragmentasi geopolitik, dan kebangkitan inflasi.

"Perekonomian global menunjukkan ketahanan. Perekonomian global tidak terpuruk akibat guncangan besar yang dialami dalam dua atau tiga tahun terakhir, namun juga tidak terlalu bagus," kata Gourinchas dalam sebuah wawancara.

"Kami melihat perekonomian global sedang tertatih-tatih dan belum berjalan dengan baik," ujarnya.