Sukses

Microsoft: Teknologi AI Bisa Tingkatkan Ekonomi RI Hingga USD 366 Miliar

Microsoft Indonesia mengungkapkan besaran potensi kontribusi ekonomi dari hadirnya teknologi Kecerdasan Buatan (AI) di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Microsoft Indonesia mengungkapkan besaran potensi kontribusi ekonomi dari hadirnya teknologi Kecerdasan Buatan (AI) di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.

President Director Microsoft Indonesia, Dharma Simorangkir mengatakan bahwa teknologi Generative AI yang dalam beberapa waktu terakhir marak digunakan, mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara hingga 20 kali lipat.

“Studi yang kita ligat saat ini untuk negara-negara di Asia Tenggara sendiri pertumbuhan GDP-nya bisa (meningkat) sampai 18 persen atau angkanya adalah USD 1 triliun di tahun 2030,” ungkap Dharma dalam kegiatan Microsoft Media Gathering 2023 di Bursa Efek Indonesia, pada Senin (30/10/2023).

ini sangat signifikan sekali terutama ketika (sektor teknologi) dunia yang sekarang sudah banyak berubah dan mengalami banyak dinamika,” sambungnya.

Untuk Indonesia sendiri, teknologi AI diprediksi dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga USD 366 miliar, kata Dharma dalam paparannya.

“Jadi Indonesia diprediksi dapat meraih (kontribusi ekonomi AI) 12 persen dari angka kontribusi ekonomi USD 1 triliun itu,” jelasnya.

“Bayangkan economic impact yang bisa diperoleh ketika kita bisa menerapkan, menggunakan, berinovasi, di atas AI sangat besar sekali,” ujarnya.

2 dari 3 halaman

Penggunaan AI Berpotensi Sebabkan Emisi Karbon Global

Potensi bahaya kecerdasan buatan (AI) telah menjadi perdebatan sejak beberapa waktu lalu. Namun, beberapa peneliti berpendapat bahwa ada kekhawatiran penting yang terabaikan, yakni energi yang digunakan komputer untuk melatih dan menjalankan model AI berukuran besar.

Alex de Vries dari VU Amsterdam School of Business and Economics memperingatkan pertumbuhan AI akan menjadikannya kontributor signifikan terhadap emisi karbon global. Demikian sebagaimana dikutip dari New Scientist, Senin (30/10/2023).

Ia juga memperkirakan, jika Google mengalihkan seluruh bisnis penelusurannya ke AI, maka Google akan menggunakan 29,3 terawatt jam per tahun atau setara dengan konsumsi listrik di Irlandia.

Bahkan, hampir dua kali lipat total konsumsi energi perusahaan sebesar 15,4 terawatt jam pada tahun 2020.

Namun, peralihan semacam itu tidak mungkin, karena memerlukan lebih dari 4 juta chip unit pemrosesan grafis (GPU) yang saat ini banyak diminati. Dengan demikian, chip GPU memiliki jumlah yang terbatas. Di samping itu, teknologi ini juga akan menelan biaya USD 100 miliar atau Rp 1,6 kuadriliun.

 

3 dari 3 halaman

Potensi Masalah

Di sisi lain, seiring berjalannya waktu, konsumsi energi AI akan menimbulkan masalah nyata. Nvidia, yang menjual 95 persen GPU untuk AI, akan mengirimkan 100.000 server A100-nya tahun ini. Artinya, secara kolektif dapat mengonsumsi 5,7 terrawatt jam per tahun.

Kondisi ini akan menjadi lebih buruk saat pabrik-pabrik manufaktur baru mulai beroperasi dan secara signifikan meningkatkan kapasitas produksi.

Pembuat chip TSMC, pemasok Nvidia, berinvestasi di pabrik baru yang dapat menyediakan 1,5 juta server per tahun pada tahun 2027. Dan semua perangkat keras