Sukses

Harga Minyak Melonjak, Perusahaan Migas Ini Kantongi Untung Rp 200,6 Miliar

Perusahaan migas PT Rukun Raharja, Tbk (IDX: RAJA) merilis laporan keuangan kuartal III 2023. Dalam laporan ini, perusahaan meraup laba bersih USD 12,6 juta.

Liputan6.com, Jakarta Perusahaan migas PT Rukun Raharja, Tbk (IDX: RAJA) merilis laporan keuangan kuartal III 2023. Dalam laporan ini, perusahaan cetak laba bersih USD 12,6 juta atau sekitar Rp 200,6 miliar (Kurs 15.925 per USD).

Direktur Utama RAJA, Djauhar Maulidi menjelaskan, capain ini lebih besar dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yaitu USD 5,6 juta, atau naik sekitar 123 persen secara tahunan atau year on year (yoy).

Dalam periode yang sama, pendapatan bersih perseroan mengalami kenaikan sebesar 26 persen, di mana pada periode yang sama di tahun sebelumnya Perseroan membukukan pendapatan bersih sebesar USD 87 juta. Sedangkan di tahun ini, pendapatan bersih perseroan adalah sebesar USD 110 juta. 

“Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan ini, di antaranya adalah penambahan customer baru sehingga adanya kenaikan penjualan gas, dan kenaikan pendapatan atas kenaikan volume pengaliran pada pipa Perseroan,” ucap Djauhar Maulidi dikutip di Jakarta, Melasa (31/10).

Dia menjelaskan, sampai dengan September 2023 ini, penyerapan belanja modal Perseroan mencapai USD 41 juta atau sebesar 82 persen dari total yang sudah dianggarkan.

Adapun penggunaan belanja modal tersebut untuk penyertaan/investasi perseroan pada salah satu blok minyak di Sumatera, penyelesaian pembangunan stasiun induk CNG di Jawa Tengah dan pembangunan pipa untuk customer baru yang berada di propinsi Riau yang akan beroperasi di kuartal IV. 

Serta joint study untuk proyek pengelolaan minyak dan gas di Blok Jabung Tengah, Provinsi Jambi. Proyek ini sudah dalam tahap eksplorasi harapannya hasil eksplorasi tersebut telah didapatkan pada kuartal IV-2023.

Harga Minyak Dunia Bisa Sentuh USD 157 per Barel

Sebelumnya, Bank Dunia mengingatkan bahwa harga minyak akan mencapai rekor tertinggi jika konflik Israel-Hamas meluas.

Mengutip CNBC International, Selasa (31/10/2023) Bank Dunia mengatakan dalam laporan terbarunya, Commodity Markets Outlook bahwa harga minyak dunia bisa melonjak hingga USD 157 per barel jika konflik Israel-Hamas meluas dan embargo minyak Arab pada tahun 1973 terulang.

Harga minyak tertinggi yang pernah tercatat terjadi pada bulan Juli 2008, ketika Brent diperdagangkan setinggi USD 147,5 per barel, menurut data dari LSEG.

"Dalam skenario ‘gangguan besar’ sebanding dengan embargo minyak Arab pada tahun 1973 pasokan minyak global akan menyusut sebesar 6 juta hingga 8 juta barel per hari," kata Bank Dunia.

"Hal ini akan mendorong harga naik sebesar 56 persen hingga 75 persen pada awalnya menjadi antara USD 140 dan USD 157 per barel,” jelasnya.

Krisis minyak dunia 50 tahun lalu membuat harga minyak naik empat kali lipat setelah para menteri energi negara Arab memberlakukan embargo ekspor minyak terhadap Amerika Serikat.

 

 

2 dari 3 halaman

Gangguan Pasokan Minyak

Proyeksi ini merupakan salah satu dari tiga skenario risiko Bank Dunia yang memperkirakan berbagai tingkat gangguan terhadap pasokan minyak, berdasarkan peristiwa sejarah masa lalu yang melibatkan konflik regional.

Prediksi Bank Dunia mengatakan, jika terjadi gangguan kecil pasokan minyak global akan mengalami pengurangan sebesar 500.000 barel per hari menjadi 2 juta barel per hari, penurunan ini sebanding dengan penurunan yang terjadi pada perang saudara di Libya pada tahun 2011.

Sementara skenario gangguan sedang akan mengurangi produksi 3 juta hingga 5 juta barel minyak per hari di pasar dan mendorong harga minyak antara USD 109 hingga USD 121 per barel. Jumlah tersebut kira-kira setara dengan tingkat yang dicapai selama perang Irak pada tahun 2003.

3 dari 3 halaman

Perkiraan Dasar

Adapun perkiraan dasar Bank Dunia, memprediksi harga minyak dunia menyentuh rata-rata USD 90 per barel pada kuartal ini sebelum turun ke rata-rata USD 81 per barel pada tahun 2024 karena melambatnya pertumbuhan ekonomi global.

"Konflik terbaru di Timur Tengah terjadi setelah guncangan terbesar pada pasar komoditas sejak tahun 1970an – perang Rusia dengan Ukraina," Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill menyoroti.

Perang tersebut menimbulkan dampak yang mengganggu perekonomian global yang masih berlangsung hingga saat ini, tambahnya.

Meskipun Israel dan wilayah Palestina bukanlah pemain minyak utama, konflik ini terjadi di wilayah penghasil minyak utama yang lebih luas.

"Jika konflik meningkat, perekonomian global akan menghadapi guncangan energi ganda untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, tidak hanya akibat perang di Ukraina namun juga di Timur Tengah," Gill memperingatkan.