Liputan6.com, Jakarta - Bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve telah mempertahankan suku bunga utama pada level tertinggi dalam 22 tahun.
Melansir BBC, Kamis (2/11/2023) The Fed mempertahankan suku bunganya tetap pada 5,25%-5,5%, setelah sebelumnya telah menaikkan biaya pinjaman untuk meredam inflasi.
Baca Juga
Keputusan suku bunga ini datang setelah data terbaru menunjukkan perekonomian Amerika Serikat tumbuh lebih baik dari perkiraan sebesar 4,9 persen pada kuartal III 2023.
Advertisement
Angka tersebut merupakan lompatan besar dari kuartal sebelumnya dan didukung oleh pasar kerja yang ketat dan peningkatan belanja konsumen.
Dalam sebuah pernyataan, The Fed mengatakan bahwa pemungutan suara yang mendukung mempertahankan suku bunga sudah dilakukan dengan suara bulat, dan menambahkan bahwa mereka siap untuk menyesuaikan kebijakan sebagaimana mestinya jika ada risiko yang muncul.
Dikatakan bahwa mempertahankan suku bunga akan memberi bank waktu untuk "menilai informasi tambahan" mengenai kinerja perekonomian.
Ketuanya Jerome Powell mengatakan data ekonomi yang baik selama beberapa bulan adalah "hanya permulaan membangun kepercayaan" bahwa inflasi bergerak menuju targetnya.
Dia mengatakan bahwa "perjalanan masih panjang", dan dia memahami inflasi yang tinggi dapat menjadi hambatan karena mengikis daya beli konsumen.
Powell juga mengatakan bahwa pihaknya memahami kenaikan suku bunga The Fed sebelumnya berdampak pada masyarakat dan dunia usaha, namun tingkat kenaikan harga masih jauh di atas targetnya.
Hal ini menandakan bahwa bank sentral mungkin menunda penurunan suku bunga, karena inflasi di AS saat ini berada pada angka 3,7%, masih di atas target The Fed sebesar 2%.
Selain itu, Powell juga melihat masih ada ketidakpastian global yang harus dipertimbangkan oleh bank sentral.
Ketidakpastian ini salah satunya yang ditimbulkan dari ketegangan geopolitik global yang meningkat, termasuk di Ukraina, dan konflik Israel-Hamas.
Harga Minyak Runtuh Dampak Kekhawatiran kenaikan Suku Bunga AS
Harga minyak dunia turun sekitar 1% ke level terendah dalam tiga pekan setelah Bank Sentral AS atau the Fed mempertahankan suku bunga di November ini namun tetap membuka kemungkinan kenaikan suku bunga di masa depan.
Kenaikan suku bunga untuk melawan inflasi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan minyak mentah.
Mengutip CNBC, Kamis (2/10/2023), harga minyak mentah Brent berjangka yang merupakan patokan harga minyak dunia, turun 20 sen atau 0,24% menjadi USD 84,82 per barel. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun 37 sen atau 0,46% menjadi USD 80,65 per barel.
Hal ini menempatkan harga minyak Brent di jalur penutupan terendah sejak 6 Oktober dan WTI di jalur penutupan terendah sejak 28 Agustus.
Pelaku pasar mencatat kedua kontrak minyak mentah ini berada di jalur yang tepat untuk ditutup di bawah rata-rata pergerakan 100 hari, yang merupakan tingkat dukungan teknis utama sejak Juli.
Sebelumnya hari ini kedua minyak acuan tersebut naik lebih dari USD 2 per barel di tengah kekhawatiran Timur Tengah.
The Fed, yang mulai menaikkan suku bunga pada Maret 2022, mempertahankan suku bunga tetap stabil namun tetap membuka kemungkinan kenaikan biaya pinjaman lebih lanjut karena perekonomian AS yang kuat.
Advertisement
Eropa dan China
Di Eropa, menurut data awal Eurostat inflasi bulan Oktober di zona Euro berada pada titik terendah dalam dua tahun terakhir, memicu pandangan bahwa Bank Sentral Eropa kemungkinan tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
Bank of England akan mengatakan pertemuan pada Kamis waktu setempat.
Di China, sebuah survei swasta menunjukkan importir minyak terbesar di dunia, aktivitas pabrik secara tak terduga mengalami kontraksi pada Oktober.
Survei ini menambah suram angka resmi yang sudah diumumkan hari sebelumnya.
Di AS, Badan Informasi Energi (EIA) mengatakan perusahaan-perusahaan energi menambahkan 0,7 juta barel minyak mentah ke dalam stok selama pekan yang berakhir 24 Oktober, lebih rendah dari perkiraan para analis dalam jajak pendapat sebesar 1,3 juta barel dan 1,3 juta barel.
"Laporan EIA ini tidak terlalu penting bagi para pedagang energi. Peningkatan yang sedikit lebih besar dan permintaan yang beragam tidak menginspirasi pergerakan besar apa pun," Edward Moya, analis pasar senior di perusahaan data dan analitik OANDA, mengatakan dalam sebuah catatan.