Sukses

Kemendag Perlahan Mulai Buka Hak Ekspor CPO

Jika izin ekspor di atas 10 juta ton dilakukan, Pemerintah khawatir kebijakan ini akan berpengaruh terhadap distribusi DMO di dalam negeri.

Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen PDN) Kementerian Perdagangan Isy Karim, mengungkapkan, bahwa Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah mulai membuka hak ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) menjelang akhir tahun 2023.

Namun, pembukaan tersebut dilakukan dengan hati-hati supaya tidak merusak target Domestic Market Obligation (DMO).

Isy menjelaskan, hingga kini hak ekspor yang dibekukan sudah mulai berkurang dari semula 8 juta ton menjadi 6,7 ton.

Bahkan, pihaknya memperkirakan angka tersebut akan terus berkurang. Tetapi terkait izin ekspor sawit ditargetkan tidak melebihi angka 10 juta ton.

"Nah dari 6,7 juta ton ini yang perlu kita waspadai ke depan dengan data ini masih ada pencairan hak ekspor yang kemarin di freeze hingga akhir Desember. Jadi dicairkan secara bertahap," kata Isy, dalam konferensi pers IPOC 2023, Jumat (3/11/2023).

Lebih lanjut, jika izin ekspor di atas 10 juta ton dilakukan, Pemerintah khawatir kebijakan ini akan berpengaruh terhadap distribusi DMO di dalam negeri.

"Apakah kebijakan nanti dengan mengurangi angka pengalih. Tapi kalau hak ekspornya kurang dari 4 juta ton tentunya akan ada kebijakan lagi untuk pengalih hak ekspor," ujarnya.

Adapun terkait pengalih hak ekspor kebijakannya akan tergantung dari perkembangan kondisi hak ekspor. Lantaran, jika terjadi banjir hak ekspor maka tidak ada distribusi DMO dalam negeri.

"Kalau banjir hak ekspor maka tidak ada distribusi DMO dalam negeri sehingga minyak goreng akan terjadi kelangkaan," ujarnya.

Kendati demikian, Kemendag memastikan kebijakan DMO minyak goreng rakyat masih tetap dibutuhkan sebagai alat Pemerintah guna menjamin pasokan dan stabilitas harga minyak goreng pada tahun 2024.

2 dari 3 halaman

Indonesia Tanam Kembali Lahan Sawit Seluas 180 Ribu Ha Tahun Ini

Industri kelapa sawit yang merupakan bagian integral dari ekonomi global sekaligus berperan penting dalam perekonomian nasional telah berhasil berkontribusi dalam penciptaan lapangan kerja produktif dan kesempatan kerja, ketahanan pangan, ketahanan energi, serta penyediaan barang-barang konsumsi.

Hal tersebut turut berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di kalangan petani pedesaan termasuk bagi petani kecil.

Lebih jauh lagi, dengan perkiraan bahwa populasi dunia akan mencapai 9,8 miliar jiwa pada tahun 2050, dunia akan memerlukan tambahan 200 juta ton produksi minyak nabati pada saat tersebut.

“Minyak sawit merupakan cara yang berkelanjutan dan efisien untuk memenuhi permintaan minyak nabati yang terus meningkat. Kelapa sawit juga mendukung penyediaan bahan bakar transportasi yang lebih ramah lingkungan, seperti bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Indonesia telah mengembangkan SAF yang dikenal dengan BioAvtur 2.4% atau J2.4,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat memberikan sambutan secara virtual dalam The 19th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2024 Price Outlook, Kamis (2/11/2023).

Untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, Indonesia telah melakukan penanaman kembali seluas 200.000 hektar sejak tahun 2007 dan seluas 180.000 hektar sedang dilakukan penanaman kembali di tahun ini dengan mengalokasikan anggaran sebesar USD386 juta.

 

3 dari 3 halaman

Di Tingkat Global

Di tingkat global, inisiatif Uni Eropa melalui kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) untuk membatasi deforestasi yang disebabkan oleh kegiatan kehutanan dan pertanian di seluruh dunia, akan memberikan dampak langsung pada komoditas utama Indonesia yakni kelapa sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, sapi, dan kayu.

“Terlepas dari kekhawatiran kami, Pemerintah siap berkolaborasi dengan Uni Eropa dalam membangun kerangka kerja yang mendorong pertanian berkelanjutan, termasuk produksi minyak nabati, dengan cara yang inklusif, holistik, adil, dan tidak diskriminatif. Sangat penting bagi Uni Eropa untuk mengakui dan menyadari sepenuhnya bahwa standar keberlanjutan nasional negara-negara produsen dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk mengakses pasar Uni Eropa,” tegas Menko Airlangga Hartarto.