Sukses

Bioavtur Bisa Bikin Harga Tiket Pesawat Naik? Ini Penjelasannya

Faktor utama yang mendorong kenaikan harga tiket pesawat yang menggunakan bioavtur adalah biaya produksi yang tinggi dan pasokan terbatas.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah saat ini terus mendorong penggunaan bahan bakar berkelanjutan atau Sustainable aviation fuel (SAF), sebagai salah satu upaya mengurangi emisi karbon.

Namun, dibalik itu penggunaan bioavtur diprediksi akan meningkatkan harga tiket pesawat dikisaran USD 3 hingga USD 14 pada 2030.

General Manager Green Energy Apical Group Aika Yuri Winata menjelaskan, faktor utama yang mendorong kenaikan harga tiket pesawat yang menggunakan bioavtur adalah biaya produksi yang tinggi dan pasokan terbatas.

 

"Biaya tambahan dari adopsi SAF diperkirakan mencapai miliaran hingga triliunan dolar bagi produsen bahan bakar," kata Aika di Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023, Sabtu (4/11/2023).

Kendati demikian, sejauh ini korporasi telah menjalin kemitraan dengan Cepsa untuk membangun pabrik biofuel generasi kedua di Eropa Selatan dengan kapasitas 500.000 ton per tahun untuk memproduksi bioavtur dari limbah pertanian dan sisa sebagai bahan baku produksi SAF.

Transisi Bahan Bakar Pesawat

Sisi positifnya, transisi bahan bakar pesawat ke bioavtur dapat mengurangi emisi karbon hingga 90 persen atau setara dengan pengurangan substansial sebanyak 1,5 juta ton CO2 per tahun.

Aika mengungkapkan, sektor penerbangan global berkontribusi terhadap emisi CO2 hingga 3 persen pada 2019. Menurutnya, sektor penerbangan menjadi salah satu sektor yang paling sulit untuk melakukan dekarbonisasi dan mencapai komitmen net zero emission pada 2050. Kendati begitu, saat ini penggunaan bioavtur baru mencapai 0,1 persen dari total penggunaan bahan bakar pesawat.

"Transisi ke SAF tidaklah tanpa tantangan, termasuk biaya produksi tinggi dan pasokan terbatas karena pembatasan pada beberapa jenis biomassa," ujarnya.

 

2 dari 4 halaman

Dekarbonisasi Perjalanan Udara

Adapun untuk mempercepat adopsi SAF dan melakukan dekarbonisasi perjalanan udara, penting untuk memanfaatkan kekuatan wilayah ASEAN. Ini mencakup ketersediaan dan aksesibilitas limbah dan sisa, potensi penghematan GHG yang signifikan, derivasi dan produksi yang berkelanjutan, serta keterlibatan aktif dalam industri.

"Negara-negara ASEAN secara kolektif menawarkan lebih dari 16 juta metrik ton minyak limbah dan sisa setiap tahun, dengan bahan baku potensial seperti minyak jelantah, limbah pabrik kelapa sawit, minyak tandan buah kosong, dan distilasi asam lemak kelapa sawit. Harga relatif dan penghematan GHG untuk bahan baku ini adalah pertimbangan kunci untuk produksi SAF," pungkasnya.

3 dari 4 halaman

Pemerintah Bidik Konsumsi Bioavtur Capai 5% pada 2025

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM), menargetkan penggunaan bioavtur mencapai 5 persen pada tahun 2025.

"Dalam industri aviasi, ditargetkan pada tahun 2025, penggunaan bioavtur mencapai 5 persen," kata Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM), Yudo Dwinanda dalam 19th Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook, di BICC, The Westin Resort Nusa Dua Bali, Jumat (3/11/2023).Untuk kerja sama pengembangan bioavtur pun sudah dilakukan oleh ITB bersama dengan Pertamina. Tes sudah mulai dilakukan dengan pencampuran 2,4 persen bioavtur dalam komposisi bahan bakar pesawat.

"Tes pertama telah dilakukan dengan CN-235-220 FTB dan berhasil," ujarnya.

Adapun produksi biovatur secara masif akan dilaksanakan pada tahun 2026. Pertamina berencana untuk meluncurkan Cilacap Green Refinery pada tahun 2026 berbasis waste feedstock.

Selain itu, Biovatur juga telah digunakan pada penerbangan komersial dengan bahan bakar J2.4, uji coba dengan Garuda Boeing 737-800 NG. Yudo menegaskan, bahwa Kementerian ESDM berkomitmen untuk terus mendorong produksi dan penggunaan biovatur dalam industri aviasi.

 

4 dari 4 halaman

Tantangan Pengembangan Bioavtur

Disisi lain, Yudo mengungkapkan, dalam mengembangkan bioavtur juga dihadapkan dengan tantangan, diantaranya tantangan kelangkaan ketersediaan dan variasi feedstock dalam produksi SAF.

"Insentif ekonomi dari adanya produksi SAF; karena dibandingkan dengan bahan bakar berbasis fosil, saat ini produksi bioavtur masih membutuhkan biaya yang cukup tinggi sehingga produksi harus terus ditingkatkan," katanya.

Oleh karena itu, menurutnya diperlukan kolaborasi dengan berbagai partner baik dalam kerja sama pengembangan produk dan juga teknologi terus didorong untuk dapat memproduksi bioavtur.

Lanjut Yudo, yang tak kalah penting adalah perlu juga untuk meningkatkan pemahaman publik terhadap usaha pengembangan produk bioavtur.

"Dengan target dan usaha yang saat ini kami kembangkan, kami mengajak berbagai pihak untuk memenuhi permintaan biodiesel yang membawa berbagai keuntungan, terutama ekonomi dan pembukaan lapangan pekerjaan karena konsumsi biodiesel akan terus meningkat ke depannya," pungkasnya.