Sukses

Perang Israel-Hamas Bakal Berdampak terhadap Ekonomi Eropa

Perang Israel-Hamas meski dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi Eropa melalui perdagangan yang lebih rendah tetapi akan terbatas.

Liputan6.com, Jakarta - Goldman Sachs menilai perang Israel-Hamas dapat berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi di zona euro kecuali tekanan harga energi tetap terkendali.

Dikutip dari CNBC, ditulis Minggu (5/11/2023),dalam sebuah riset, Analis Goldman Sachs, Katya Vashkinskaya menilai, konflik Israel-Hamas yang sedang berlangsung dapat pengaruhi ekonomi Eropa melalui perdagangan regional yang lebih rendah, kondisi keuangan lebih ketat, harga energi lebih tinggi dan kepercayaan konsumen yang rendah.

Kekhawatiran semakin meningkat di kalangan ekonom kalau konflik tersebut dapat meluas dan melanda Timur Tengah. Hal ini menyusul Israel dan Lebanon saling tembak rudal saat Israel terus memborbardir Gaza yang akibatkan banyak korban sipil dan krisis kemanusiaan yang semakin parah.

Ketegangan meski dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi Eropa melalui perdagangan yang lebih rendah dengan Timur Tengah, Vashkinskaya menyoroti paparan terhadap benua ini terbatas mengingat ekspor kawasan euro sekitar 0,4 persen produk domestik bruto (PDB) ke Israel dan negara-negara tetangganya, sedangkan paparan perdagangan Inggris lebih sedikit sekitar 0,2 persen terhadap PDB.

Ia mencatat kondisi keuangan yang lebih ketat dapat membebani pertumbuhan dan memperburuk hambatan yang ada pada aktivitas ekonomi akibat kenaikan suku bunga di kawasan euro dan Inggris.

Namun, Goldman Sachs tidak melihat pola yang jelas antara kondisi keuangan dan episode ketegangan sebelumnya di kawasan Eropa Timur.

“Cara paling penting dan berpotensi berdampak pada ketegangan yang dapat meluas ke ekonomi Eropa adalah melalui pasar minyak dan gas,” ujar Vashkinskaya.

Ia menuturkan, sejak konflik saat ini terjadi, pasar komoditas mengalami peningkatan volatilitas. Harga minyak mentah Brent dan gas alam Eropa masing-masing naik 9 persen dan 34 persen pada puncaknya.

2 dari 5 halaman

Harga Minyak Melonjak

Tim komoditas Goldman Sachs menilai serangkaian skenario penurunan di mana harga minyak dapat naik antara 5 persen dan 20 persen, tergantung pada tingkat keparahan guncangan pasokan minyak.

"Kenaikan harga minyak 10 persen yang terus menerus biasanya menguarangi PDB riil kawasan Euro sekitar 0,2 persen setelah satu tahun, dan meningkatkan harga konsumen hampir 0,33pp selama periode tersebut, dengan dampak serupa yang diamati di Inggris,” ujar Vashkinskaya.

Ia menambahkan, harga minyak harus tetap tinggi secara konsisten. Hal ini sudah menjadi pertanyaan karena harga minyak mentah Brent hampir kembali ke tingkat sebelum konflik pada akhir Oktober 2023.

Ia menilai, perkembangan harga gas hadirkan tantangan lebih besar. Hal ini karena kenaikan harga didorong pengurangan ekspor LNG atau gas alam cair global dari ladang gas Israel. Selain itu, pasar gas saat ini kurang mampu merespons guncangan pasokan yang merugikan.

"Meskipun perkiraan tim komoditas kami menunjukkan peningkatan cukup besar pada harga gas alam Eropa jika terjadi skenario penurunan pasokan di kisaran 102-200 EUR/MWh, kami yakini respons kebijakan akan melanjutkan biaya energi yang ada atau memulai kembali biaya energi sebelumnya. Kebijakan dukungan akan menahan dampak laba yang dapat dibelanjakan dan mendukung perusahaan, jika risiko itu terwujud,” tutur dia.

3 dari 5 halaman

Risiko Kendalikan Inflasi

Kepada CNBC, Gubernur Bank of England Andrew Bailey menuturkan, dampak langsung dari konflik di pasar energi menimbulkan potensi risiko terhadap upaya bank sentral untuk kendalikan inflasi.

“Sejauh ini, menurut saya, kita belum melihat kenaikan harga energi yang nyata, dan itu jelas bagus. Tapi itu adalah sebuah risiko. Ini jelas merupakan risiko di masa depan,” ujar Bailey.

Harga minyak bergejolak sejak Hamas melancarkan serangan terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Bank Dunia memperingatkan dalam laporan triwulanan pada Senin, 30 Oktober 2023 kalau harga minyak mentah dapat naik hingga lebih dari USD 150 per barel jika konflik meningkat.

Vashkinskaya mencatat kawasan euro alami penurunan subtansial setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Maret 2022. Dampak yang sama belum pernah diamati secara historis bersamaan dengan meningkatnya ketegangan antara Israel dan Hamas. Akan tetapi, pengukuran ketidakpastian terkait konflik yang dilakukan Goldman Sachs mencapai rekor tertinggi pada Oktober 2023.

4 dari 5 halaman

Sri Mulyani: Harga Minyak Mau Naik ke USD 100 per Barel

Dalam kuliah umum di Universitas Diponegoro, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan kepada pelajar di perguruan tinggi/mahasiswa bahwa perekomonian global sedang menghadapi berbagai tantangan dan guncangan, salah satunya soal harga minyak.

Tantangan ini di antaranya adalah gejolak geopolitik, kenaikan suku bunga agresif Amerika Serikat, hingga lonjakan inflasi di negara-negara Eropa.

“Harga minyak mau naik ke USD 100 kemudian terjadi perang. Sekarang Amerika Serikat juga tidak ada ketua DPR-nya sehingga mereka nggak bisa mengendalikan fiskal,” jelas Sri Mulyani dalam Kuliah Umum: Kebijakan Fiskal di Tengah Konstelasi Ketidakpastian Global pada Senin (23/10/20203).

“Amerika bilang 'saya mau menaikkan suku bunga’. Istilahnya sedang bersin tetapi seluruh negara tetangganya kena flu karena begitu dahsyatnya (langkah suku bunga) mereka,” ucap Menkeu.

Peran APBN

Maka dari itu, Sri Mulyani kembali menjelaskan, APBN hadir untuk menjaga stabilitas dan pemerataan dalam roda ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global.

 

 

5 dari 5 halaman

APBN Sebagai Instrumen

“APBN sebagai instrumen menjadi cara untuk menstabilkan enggak selalu bisa namun dia memiliki fungsi sebagai countercyclical. Kalau ekonominya terlalu menderu-deru maka dia (APBN) coba didinginkan, kalau ekonominya turun amblas maka dia ditarik ke atas, dengan menggunakan instrumen pajak, penerimaan, belanja, maupun pembiayaan “ papar Sri Mulyani.

Countercyclical adalah ketika Pemerintah menambah belanja (Ekspansi) dan/atau menurunkan tarif pajak/ DTP ketika krisis (resesi) untuk stimulasi agregate demand dan mencegah penggunaan sumber daya ekonomi yang kurang optimal (underemploying) dan sebaliknya mengurangi belanja (kontraksi) danatau menaikan tarif pajak untuk cool off dalam rangka menghindari over heating perekonomian.

Adapun Pro Cyclical adalah ketika Pemerintah mengurangi belanja (kontraksi) ketika perekonomian lesu (krisis) dan sebaliknya akan melakukan menambah belanja (ekspansi) ketika terjadi booming.

“Ekonomi Indonesia tidak hanya sekedar menjaga stabilitas kita juga menciptakan pemerataan waktu terjadi covid-19 semuanya mengalami kontraksi. Namun kita berhasil pulih kembali,” tutur Menkeu.