Sukses

Siap-Siap, Satu PLTU Bakal Pensiun Tahun Ini Pakai Dana JETP

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan ada satu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang akan pensiun dalam waktu dekat.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan ada satu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang akan pensiun dalam waktu dekat. Sumber pendanaannya akan mengambil dari dana Just Energy Transition Partnership (JETP).

JETP sendiri merupakan komitmen dana murah dari sejumlah negara maju untuk membantu proses transisi energi di Indonesia. Salah satunya bisa digunakan untuk menyetop operasional PLTU dengan emisi karbon berlebih.

"Jadi memanh JETP tahun ini kita lagi coba paling enggak tahun ini ada satu yang bisa maju. Tadi saya minta fokus dulu, memang kita siapkan 4,8 GW (untuk disetop), tapi paling enggak ada satu lah yang 500 MW dulu, baru bisa jalan," terangnya di Kementerian ESDM, ditulis Minggu (5/11/2023).

Penggunaan Dana JETP

Arifin ingin membuka peluang penggunaan dana JETP untuk kategori yang lebih luas. Misalnya, untuk penyiapan infrastruktur kelistrikan.

Pasalnya, dengan adanya PLTU yang pensiun, maka ada sumber pembangkit yang hilang. Untuk menggantikannya, perlu ada pembangkit baru lagi. Guna mendukung itu, perlu akses seperti transmisi.

"Kita juga minta JETP membuka peluang untuk infrastruktur kelistrikan, transmisi, supaya bisa dibantu juga. Karena nanti (ada pembangkit listrik) pensiun, ini kan ada hilang kapasitas, terus masuk yang baru, yang baru ini juga perlu infrastruktur," bebernya.

 

2 dari 3 halaman

Utang

Sebelumnya, Indonesia tengah menanti pencairan dana Just Energy Transition Mechanism (JETP) senilai USD 20 miliar, atau setara Rp 300 triliun. Sebagian besarnya dicairkan dalam bentuk pinjaman atau utang, dan sebagian kecil hibah untuk mendorong program transisi energi.

Dewan Energi Nasional (DEN) lantas meminta agar dana JETP yang dalam bentuk utang bisa dikenakan bunga di bawah 5 persen.

Dalam proses kesepakatan, Anggota DEN Satya Widya Yudha mengatakan, pihak JETP meminta agar Indonesia membatasi puncak emisi di pembangkit listrik tidak lebih dari 395 juta metrik ton CO2 pada 2030.

Di sisi lain, dalam Kebijakan Energi Nasional, DEN menetapkan target emisi dengan skenario rendah di level 463 juta metrik ton, dan skenario tinggi 621 juta metrik ton pada 2035.

Dengan banyaknya syarat yang ditetapkan JETP, DEN lantas memohon agar JETP tidak mengenakan bunga komersil untuk porsi pinjamannya.

"Kalau bunga komersial dengan mensyaratkan bahwa tahun 2030 harus 395 juta ton, lantas JETP pilih jenis energi primer yang boleh dikembangkan hanya solar dan hidro. Banyak sekali batasan-batasan yang kita lihat atau review ulang apakah kita bisa menggunakan jalur ini," ungkapnya di Jakarta, Kamis (19/10/2023).

"Masih ada gap, kebutuhannya. Kemarin JETP menganggarkan sekitar USD 20 billion yang dikatakan available. Kalau kebutuhan yang ada lebih dari itu, maka kita harus kejar agar mampu mengisi gap apabila ini semua jadi kenyataan," kata Satya.

 

3 dari 3 halaman

Tak Jadi Beban

Alhasil, Satya menilai Indonesia butuh pinjaman komersil atau utang yang lebih terukur dan tidak membebani pembiayaan jangka panjang, agar bisa mempercepat program transisi energi.

"Lain cerita kalau misalkan JETP akan mengatakan, kami memberikan interest yang bukan komersial dalam loan tersebut. Jadi bisa di bawah 5-6 persen atau lebih rendah dari itu," ungkapnya.

"Sehingga ada trade off antara apa yang akan kita inginkan untuk akselerasi dan kemudahan keuangan yang mendukung akselerasi tersebut," ujar Satya.

Banyak Utang Jangka Panjang

Sementara Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gigih Udi Atmo mengatakan, waktu pendanaan JETP ke Indonesia berjangka antara 3-5 tahun, dengan komitmen senilai USD 21,6 miliar.

Tapi, mayoritasnya merupakan utang jangka panjang. Gigih tak ingin utang untuk transisi energi tersebut nantinya membebani generasi penerus bangsa.

"Sebagian besar adalah loan. Loan konkretnya adalah pinjaman, atau bahasa lainnya adalah utang, utang yang long term loan. Itu nanti implikasinya adalah bisa jadi ini intergenerational loan," terang dia.

"Loan ini harus bisa memberikan maksimal impact kepada Indonesia untuk develop atau akselerat upaya dekarbonsiasi. Untuk ya g paling penting adalah meningkatkan energy security, memastikan bahwa Indonesia mengurangi as much as possible ketergantungan terhadap sumber energi dari impor," tuturnya.