Sukses

Kemnaker Takut RPP Kesehatan Ganggu Industri Rokok, Bakal PHK Massal?

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyoroti Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP Kesehatan) yang jadi aturan turunan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyoroti Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP Kesehatan) yang jadi aturan turunan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Aturan ini diisukan bisa memicu PHK akibat larangan iklan produk tembakau/rokok pada media penyiaran dan digital.

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemnaker, Indah Anggoro Putri, tak memungkiri jika RPP Kesehatan mungkin akan berpengaruh kepada hubungan industrial, khususnya di industri rokok.

Ia lantas menyinggung Pasal 425 ayat ayat (1) huruf b, yang mengatur setiap orang yang memproduksi atau mengimpor produk tembakau harus mematuhi standar maksimal kadar nikotin dan tar yang ditetapkan oleh menteri.

"Kami mengusulkannya menjadi, memenuhi standar maksimal kadar nikotin dan tar sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Pertimbangannya, penetapan standar maksimal kadar nikotin dan tar oleh Depkes akan menyebabkan tumpang tindih regulasi, dan ketidakpastian usaha," kata Indah dalam sesi konferensi pers, dikutip Rabu (22/11/2023).

"Kalau ketidakpastian usaha, kami khawatir akan menganggu keberlangsungan usaha. Karena keberlangsungan usaha terganggu khususnya di industri rokok/tembakau, yang pada umumnya industri padat karya, kami khawatir berdampak pada pengurangan pekerja. Itu sebabnya hubungan yang jelas ya, kalau keberlangsungan usaha terganggu maka pekerja pun kami khawatirkan berkurang," paparnya.

Pakai SNI

Untuk itu, Indah usul agar memakai SNI saja. Dengan pertimbangan itu disusun dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait. "Termasuk perwakilan dari kementerian/lembaga lain. Kemnaker juga ikut di situ, dan juga melibatkan pakar, konsumen," imbuhnya.

Namun begitu, Indah menilai bahwa tidak semua regulasi termasuk RPP Kesehatan bisa dikaitkan dengan ancaman PHK. Padahal menurutnya, aturan itu dibentuk untuk menciptakan perbaikan.

"Saya mohon juga nih, jangan terus terhasut dengan ancaman PHK. Kalau ada ketidaksesuaian dalam regulasi, maka disampaikan. Demikian pula dengan RPP Kesehatan," ujar Indah.

"Itu tujuannya bagus, yaitu untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di republik ini. Sehingga seluruh rakyat Indonesia memiliki akses yang lebih baik lagi terhadap kesehatan," sambungnya.

 

2 dari 3 halaman

Demi Generasi Emas

Menurut dia, RPP Kesehatan hadir guna menciptakan generasi emas yang lebih sehat dan berkualitas. Oleh karenanya, Kemnaker disebutnya mendukung tujuan mulia tersebut.

"Bahwa dalam RPP Kesehatan itu ada pasal-pasal/ketentuan-ketentuan yang mungkin akan berdampak pada ketenagakerjaan, khususnya hubungan industrial di Indonesia, maka kami Kemnaker sudah menyampaikan pandangan kami kepada Kementerian Kesehatan dalam rapat-rapat tingkat kementerian," tuturnya.

3 dari 3 halaman

Alasan Industri Tembakau Harus Terlibat dalam Penyusunan Aturan Turunan UU Kesehatan

Penyusunan aturan turunan UU Kesehatan terus didesak agar membuka pintu seluas-luasnya terhadap partisipasi publik dan pemangku kepentingan terkait untuk memberikan masukan.  Imbauan ini cukup beralasan karena pada awal penyusunan UU Kesehatan juga menghasilkan sejumlah pasal yang multitafsir dan menimbulkan polemik di publik, misalnya pasal zat adiktif berupa produk tembakau.

Menurut pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiyansah, keterlibatan industri tembakau memiliki peran yang penting dalam penyusunan aturan turunan terkait produk tembakau pada UU Kesehatan ini. Pasalnya, mereka adalah pihak yang akan berdampak secara langsung dari aturan tersebut.

 Dia menjelaskan, jika ingin mengurangi resistensi publik, tentu yang pertama harus dilakukan adalah melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk industri tembakau, terhadap perumusan aturan turunan ini.

Soal partisipasi publik, melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022, Presiden Jokowi telah mengamanatkan bahwa partisipasi masyarakat diperlukan dalam pembuatan undang-undang. Termasuk dalam proses perencanaan, persiapan, pembahasan, pengesahan atau keputusan, dan diundangkan. Seperti diketahui bersama, Kemenkes sendiri berencana menjadikan 108 Peraturan Pemerintah (PP) yang terpisah menjadi hanya satu PP, termasuk soal aturan tembakau.

“Kemenkes bisa membaginya ke beberapa klaster dan menempatkannya dengan tepat, dengan pembagian klaster tersebut, aturan ini akan lebih mudah dipahami karena publik dapat melihat dari sisi kemanfaatan dan kepentingannya tidak dirugikan,” ujarnya.

 Sampai dengan saat ini Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan sektor penyumbang penerimaan negara terbesar lewat cukai. Kontribusi ini diperkuat melalui keberhasilan menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, jika industri ini semakin ditekan melalui regulasi yang eksesif, maka akan ada beberapa daerah yang merugi, penerimaan negara dapat berkurang, bahkan ada risiko meningkatnya jumlah pengangguran.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Kebijakan Publik DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Danang Girindrawardana meminta sebaiknya pemerintah dapat bersikap lebih bijak dengan tidak menyerahkan semua aturan IHT ini kepada Kemenkes.

Dikutip dari data Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang terserap dalam industri rokok sebanyak 5,98 juta orang yang terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri dan 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan.