Liputan6.com, Jakarta - Kelompok serikat buruh menyayangkan putusan kenaikan upah minimum provinsi, atau UMP 2024 yang secara rata-rata kurang dari 5 persen. Angka itu dianggap tidak adil jika dibandingkan dengan kenaikan gaji PNS tahun depan yang sampai 8 persen.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengatakan, ketetapan upah minimum tahun depan tidak adil jika dibandingkan dengan PNS. Sebab menurutnya, aparatur sipil negara juga digaji oleh pajak yang dipotong dari pendapatannya.
Baca Juga
"Jelas kenaikan upah buruh jauh dari kenaikan ASN. Seharusnya pemerintah memperhatikan hal ini, kelompok yang menyumbang pajak untuk gaji PNS adalah buruh," ujar Elly kepada Liputan6.com, Rabu (22/11/2023).
Advertisement
Elly menganggap kehidupan buruh seperti budak sistem oligarki. Pasalnya, upah yang mereka dapatkan kena potong pajak untuk dialokasikan sebagai gaji PNS yang dapat kenaikan 8 persen di tahun depan, juga untuk pensiunan yang terima lonjakan 12 persen.
"Buruh juga rakyat dimana setiap penghasilan akan dipotong pajak, belanja saja terkena pajak. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kaum buruh sebagai pembayar pajak kepada negara untuk kehidupan para ASN," tuturnya.
Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah juga mengeluhkan kenaikan UMP 2024 yang dianggap tak sepadan.
Menurut dia, buruh telah berjuang keras agar upah minimum tahun depan bisa terangkat hingga 15 persen. Namun pemerintah lebih memilih kenaikan gaji PNS di atas kaum pekerja.
"Kita juga sama-sama tahu, pemerintah baru saja menetapkan kenaikan gaji untuk PNS itu 8-12 persen. Tentu, kenaikan upah yang ada pada hari ini sangat tidak memenuhi apa yang jadi aspirasi dari kelas pekerja atau kaum buruh," ungkapnya.
UMP 2024 Resmi Naik, Ekonom: Belum Bisa Dongkrak Daya Beli
Sebagian kepala daerah telah mengumumkan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) 2024 sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan. Sejauh ini, sudah ada 33 provinsi yang menetapkan kenaikan UMP 2024.
Secara persentase, kenaikan tertinggi berada di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 8,73 persen. Sementara itu, kenaikan UMP 2024 paling rendah tercatat di Provinsi Gorontalo hanya 1,19 persen.
Namun, perlu dicatat, persentase ini tidak berarti besaran nominal kenaikannya pun menjadi yang paling tinggi. Diketahui, UMP 2024 naik berkisar 1,19-4,89 persen di seluruh Indonesia.
Direktur Eksekutif dan Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai kenaikan UMP 2024 masih terlalu kecil. Hal ini bisa berdampak pada pertumbuhan daya beli karena upah berkontribusi pada daya beli masyarakat.
“UMP 2024 dengan kenaikan yang terlalu rendah bisa mengancam pertumbuhan ekonomi tahun depan. Sulit ya bisa tumbuh 5 persen tahun depan dengan stimulus upah yang terlalu rendah,” kata Bhima dalam pesan singkat kepada Liputan6.com, Rabu (22/11/2023).
Menurut Bhima, kenaikan UMP rata-rata nasional masih terlalu kecil, dengan angka idealnya di atas 10 persen.
“Melihat tekanan inflasi pangan yang cukup berisiko menggerus daya beli. Inflasi bahan pangan masih tinggi dan diperkirakan tahun depan inflasi pangan yang tinggi berlanjut,” jelas Bhima.
“Kalau naiknya upah dibawah 5 persen, buruh mana bisa hadapi inflasi, belum pentingnya soal kontribusi pekerja agar menikmati bagian pertumbuhan ekonomi,” lanjutnya.
Ia menekankan, menjaga daya beli pekerja merupakan hal yang penting agar di tahun depan perekonomi Indonesia bisa lebih tahan hadapi guncangan.
“Karena konsumsi rumah tangga masih jadi motor pertumbuhan ekonomi yang akan diandalkan tahun 2024,” jelasnya.
Advertisement
Urgensi Penolakan pada Formula Upah Minimum yang Rendah
Bhima menyebut, beberapa pemda seharusnya menolak formula upah minimum yang terlalu rendah
“Bahkan Pemda DKI punya kewenangan khusus dibanding daerah lainnya terkait dengan penetapan upah merujuk pada Pasal 26 UU DKI Jakarta yang masih berlaku,” katanya.
Dia menambahkan, selama pasal 26 masih bisa memberi ruang pengaturan industri dan perdagangan dimana upah merupakan komponen yang tidak terlepaskan dari kebijakan ekonomi, maka gubernur DKI bisa manfaatkan regulasi itu.
“Jadi tidak perlu merujuk UU Cipta Kerja soal formulasi upah. Kalau bisa lebih baik dari hasil formula UU Cipta Kerja kenapa tidak? Dengan upah yang naik lebih tinggi maka perputaran ekonomi juga makin naik, yang belanja makin banyak dan berdampak ke pendapatan daerah,” pungkasnya.