Liputan6.com, Jakarta Reforminer Institute menilai, saat ini ekonomi Indonesia masih berada pada fase pre industrial economics menuju industrial economics. Kondisi ini potensi menimbulkan dilema bagi Indonesia, yang dituntut menaikan pertumbuhan ekonomi dan dibarengi dengan program transisi energi, khususnya dalam menekan karbon emisi.
"Artinya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan berbanding lurus dengan tingkat kerusakan lingkungan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi juga semakin besar," ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Senin (27/11/2023).
Baca Juga
Pernyataan itu selaras dengan Kurva Kuznets yang dipelopori ekonom Simon Kuznets, menjelaskan bahwa sampai pada titik tertentu pertumbuhan ekonomi/kesejahteraan masyarakat akan berbanding lurus dengan tingkat kerusakan lingkungan.
Advertisement
Komaidi memaparkan, kajian Kuznets untuk negara-negara di wilayah Eropa menemukan bahwa titik balik hubungan linier antara kerusakan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi terjadi ketika memasuki fase industrial economics. Pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan berjalan linier mulai dari pre industrial economics sampai dengan industrial economics.
"Selanjutnya, pada fase post-industrial economics yaitu ketika basis pertumbuhan perekonomian adalah sektor jasa, tingkat kerusakan lingkungan tercatat mengalami penurunan meskipun pada periode yang sama pertumbuhan ekonomi meningkat," paparnya.
Di sisi lain, Indonesia telah menetapkan target bebas emisi, atau net zero emission (NZE) pada 2060 sebagai bagian dari transisi energi. Namun begitu, Komaidi menggarisbawahi, emisi karbon tidak hanya dihasilkan dari aktivitas sektor energi.
Bahkan pada wilayah atau negara tertentu, ia menambahkan, emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas sektor non energi tercatat lebih besar dibandingkan emisi karbon yang dihasilkan oleh sektor energi.
Penghasil Emisi Gas Rumah Kaca
Berdasarkan data, Komaidi mencatat sektor energi hanya merupakan salah satu kontributor penghasil emisi gas rumah kaca (GRK). Kelompok penghasil emisi GRK global meliputi sektor kelistrikan, industri, pertanian, penggunaan lahan, dan limbah, transportasi, dan bangunan.
"Sementara penghasil emisi GRK Indonesia adalah sektor energi, IPPU (Industrial Process and Production Use), pertanian, kehutanan, dan limbah. Kontributor utama penghasil emisi GRK global pada tahun 2021 adalah sektor kelistrikan dan industri. Porsi emisi GRK dari kedua sektor tersebut dilaporkan mencapai 58 persen dari total emisi GRK global tahun 2021," urainya dalam catatannya, Senin (27/11/2023).
"Kontributor terbesar selanjutnya adalah sektor pertanian, penggunaan lahan, dan limbah 20 persen, sektor transportasi 15 persen, dan bangunan 7 persen," kata Komaidi.
Advertisement
Kontribusi Emisi GRK
Menurut data yang dihimpunnya, selama 2000-2022, rata-rata kontribusi emisi GRK yang dihasilkan oleh sektor energi di Indonesia dilaporkan sekitar 18,10 persen dari total emisi Indonesia. Sementara kontribusi sektor pertanian, sektor kehutanan, dan limbah terhadap emisi Indonesia pada periode tersebut masing-masing dilaporkan sekitar 18,04 persen, 30,41 persen, dan 16,74 persen.
"Berdasarkan data tersebut, pencapain target NZE untuk masing-masing negara termasuk Indonesia akan lebih efektif jika tidak hanya mengandalkan kebijakan transisi energi sebagai satu-satunya instrumen, tetapi secara paralel juga perlu melalui implementasi kebijakan solusi rendah karbon lainnya," imbuh Komaidi.
Untuk negara berkembang seperti Indonesia, ia menuturkan, jika penurunan emisi hanya melalui pengembangan energi terbarukan dan teknologi akan memerlukan waktu yang cukup panjang.
"Hal itu karena negara berkembang akan tetap mempertimbangkan dan melaksanakan pembangunan ekonomi dengan tetap menjalankan aktivitas yang memiliki eksternalitas terhadap lingkungan, terutama aktivitas industri padat energi penghasil karbon," imbuhnya.