Liputan6.com, Jakarta Penarikan cukai plastik dikhawatirkan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, juga berpotensi menjadi beban bagi kalangan industri yang tengah bertumbuh saat ini. Karenanya, pemerintah perlu berhati-hati dalam pengenaan cukai plastik ini.
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Reni Yanita, mengatakan penarikan cukai plastik hanya akan berdampak negatif kepada pertumbuhan ataupun utilisasi industri dalam negeri.
Advertisement
Industri ini termasuk di dalamnya industri kecil menengah yang mencapai 99,7% dan industri makanan minuman yang jumlahnya hampir mencapai 1,68 juta unit usaha. Dia mengkhawatirkan, penarikan cukai plastik nantinya justru akan mengganggu sisi permintaannya yang pasti akan berkurang.
“Ketika demand berkurang pasti kebutuhan yang ada akan diisi oleh produk impor yang cenderung lebih murah. Ini juga yang harus kita sikapi. Karena demand tetap ada tetapi konsumen pasti cenderung memilih harga yang lebih murah. Harga murah karena tidak ada pengenaan cukai di kemasan plastiknya,” ujarnya.
Bisa Diolah
Dalam kaitannya dengan plastik, Kementerian Perindustrian melihatnya dari sisi lingkungan hidupnya. ”Kalau kita menganggap kemasan plastik, sebagai limbah, itu salah. Karena itu masih bisa diolah lagi bahkan bisa menjadi bahan baku,” tuturnya.
Jika terhadap kemasan-kemasan plastik itu dikenakan cukai, menurut Reni, pasti ada koreksi di harga yang akan ditanggung oleh konsumen. Kemudian jika ada koreksi harga, lanjutnya, pasti permintaan akan terkoreksi juga. “Takutnya kita dengan kondisi seperti ini industri dalam negeri yang sudah tumbuh bisa terhambat,” tukasnya.
Dampaknya, kata Reni, bersiap-siap utilisasi industri nasional akan terkoreksi menjadi lebih rendah. Kemudian daya saingnya juga menjadi lebih rendah karena utilisasi menurun.
“Ini akan diisi oleh pangsa impor. Impor juga bukan hanya di produk hilir yang kita hasilkan seperti produk makanan dan minuman dalam kemasan, ini akan diisi oleh produk impor dan juga untuk bahan bakunya,” ucapnya.
“Padahal PR dari kita adalah bagaimana menumbuhkan lagi industri ini dari keterpurukannya pada dua tahun Covid, dan saat ini sudah mulai bergerak lagi tetapi ada wacana seperti ini. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya nanti untuk membangkitkan lagi industri kita yang sudah mulai tumbuh ini karena adanya penarikan cukai plastik ini,” tambahnya.
Bisa Jadi Bahan Baku
Dia menegaskan bahwa kemasan plastik itu bukan limbah karena bisa diolah lagi menjadi bahan baku untuk industri lainnya, termasuk di sini untuk industri berbasis sandang, karpet, kemudian ada juga industri alas kaki.
“Dengan pengenaan cukai ini, industri daur ulang plastik kita akan kekurangan bahan baku karena memang di industri dalam negerinya juga terkoreksi,” ungkapnya.
Pada acara yang sama, Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3, Kementerian LHK, Dr. Novrizal Tahar, menjelaskan ada yang belum beres dalam hal persoalan sampah terkait waste management.
“Memang belum beres. Jadi, kalau di data kita, pengolahan sampah mungkin baru 60 persen yang kita anggap (terkelola) secara baik dan benar. Dan masih ada mungkin sekitar 40 persen itu memang masih terbuang ke lingkungan dan menjadi persoalan,” ungkapnya.
Di kesempatan lain, Anggota Komite Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Rachmat Hidayat juga menyampaikan pengendalian sampah plastik itu seharusnya dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan cost dan benefit.
Menurutnya, penarikan cukai plastik ini akan memicu terjadinya kenaikan harga yang otomatis akan menyebabkan permintaan turun. Permintaan turun, lanjutnya, pendapatan dan sebagainya juga turun.
“Kami sepakat yang disampaikan Ibu Dirjen (Reni) dan Bapak Direktur bahwa cukai itu salah satu pilihan pilihan, tapi untuk saat ini adalah bukan pilihan pertama. Ada pilihan lain yang lebih baik kita ambil yang ongkosnya tidak sebesar itu, misalnya pengelolaan sampah yang lebih baik,” katanya.
Advertisement
Pengaruh ke Ekonomi
Menurut Rachmat, dari riset Indef 2015 dijelaskan bahwa setiap 1,76% penurunan industri makanan-minuman akan berkontribusi terhadap hilangnya pendapatan secara nasional sebesar 6,79 triliun dan ini berkorelasi dengan hilangnya lapangan pekerjaan sebanyak 280.000 orang.
Selain itu pendapatan pemerintah berupa pajak pasti turun, baik pajak penghasilan maupun pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai, tambahnya. Itu baru satu contoh dari satu sektor industri makanan dan minuman saja. Artinya, harapan kita kondisi persampahan lebih baik melalui cukai, yang terjadi malah ongkosnya yang harus kita tanggung sangat besar.
“Apindo memandang cukai plastik bukanlah pilihan yang tepat untuk saat ini diambil. Karena, ekonomi nacional kita memerlukan pertumbuhan yang salah satunya didorong oleh pertumbuhan industri. Industri kita perlu lebih maju lagi agar bonus demografi Indonesia bisa dimanfaatkan untuk pertumbuhan ekonomi nasional dan kita masih punya banyak ruang untuk meningkatkan pengelolaan sampah kita,” tegas Rachmat.