Sukses

Miliarder Jack Ma Sekarang Jualan Makanan Kemasan

Perusahaan baru milik Jack Ma akan berfokus pada penjualan makanan kemasan, impor dan ekspor, serta menjual produk pertanian layak konsumsi.

Liputan6.com, Jakarta - Miliarder sekaligus pendiri raksasa teknologi Alibaba, Jack Ma kini menggeluti bisnis baru, yaitu industri makanan.

Melansir CNN Business, Rabu (29/11/2023) catatan publik China menunjukkan bahwa Jack Ma telah membuka startup bisnis makanan bernama Hangzhou Ma's Kitchen Food.

Perusahaan tersebut didirikan pada 22 November 2023 di Hangzhou, yang dikenal sebagai kota kelahiran sang miliarder di China timur, yang juga merupakan lokasi kantor pusat Alibaba.

Data Sistem Publisitas Informasi Kredit Perusahaan Nasional China menunjukkan, perusahaan baru milik Jack Ma akan berfokus pada penjualan makanan kemasan, impor dan ekspor, serta menjual produk pertanian layak konsumsi.

Startup yang juga disebut sebagai 'Ma's Kitchen' itu bahkan sudah mendaftarkan modal bernilai fantastis yaitu sebesar 10 juta yuan atau sekitar Rp 21,7 miliar.

Menurut perusahaan penyedia data perusahaan di China Qichacha, startup ini sepenuhnya dimiliki oleh entitas bernama Hangzhou Dajingtou No. 22 Arts and Culture.

Namun, Ma’s Kitchen belum mengungkapkan secara rinci tentang model bisnisnya atau jenis produk makanan yang akan dijual.

Meskipun demikian, didirikannya Ma’s Kitchen telah mendorong munculkan spekulasi publik bahwa Jack Ma mungkin ingin memanfaatkan tren peningkatan permintaan makanan siap saji di China.

Data Euromonitor International mencatat, pasar makanan siap saji di China bernilai sekitar 71,1 miliar yuan atau setara Rp 153,55 triliun tahun lalu.

Permintaan untuk jenis makanan kemasan lainnya juga meningkat, dengan pasar untuk peralatan makan hampir naik tiga kali lipat dari 10,6 miliar yuan pada 2018 menjadi 29,1 miliar yuan pada 2022.

2 dari 3 halaman

Jack Ma Tunda Rencana Kurangi Kepemilikan Saham di Alibaba, Ini Alasannya

Sebelumnya, Miliarder Jack Ma hentikan rencana mengurangi kepemilikan saham di Alibaba setelah saham raksasa e-commerce China tersebut anjlok.

Mengutip CNBC, ditulis Jumat (24/11/2023), pendiri Alibaba Jack Ma menunda rencana memangkas kepemilikan saham di raksasa e-commerce setelah harga sahamnya turun. "Jack Ma belum menjual satu saham pun,” ujar Chief People Officer Alibaba, Jane Jiang kepada karyawan dalam memo internal yang dilihat CNBC.

Jiang menuturkan, saham Alibaba saat ini diperdagangkan di bawah valuasi sebenarnya perusahaan. Hal ini menjadi alasan Jack Ma belum kurangi kepemilikan sahamnya.

Pada pengajuan peraturan pekan lalu, Alibaba mengungkapkan Jack Ma ingin jual 10 juta saham dengan nilai USD 870 juta. Rencana itu terungkap dalam pengajuan peraturan pada 16 November, saat itu Alibaba merilis laba yang berakhir September 2023.

Sebagai bagian dari rilis labanya, Alibaba menuturkan, tidak akan lagi melakukan spin-off dari bisnis komputasi awannya, sesuatu yang sedang dipantau secara ketat oleh investor. Hal ini membuat saham Alibaba anjlok sekitar 9 persen.

Namun, rencana menjual saham tersebut dibuat pada Agustus, dan kebetulan dipublikasikan pada 16 November, ujar Jiang.

 

3 dari 3 halaman

Saham Alibaba

Pada Agustus, saham Alibaba yang terdaftar di Amerika Serikat diperdagangkan di kisaran USD 101. Pada Rabu, 22 November 2023, harga saham Alibaba ditutup di level USD 78,94. Itu berarti jika Jack Ma menjual 10 juta saham, keuntungannya akan mencapai USD 789,4 juta, jauh lebih rendah dari USD 870 juta yang diinginkan.

Jiang menambahkan, rencana Jack Ma menjual saham dengan harga jual lebih tinggi menunjukkan kepercayaan terhadap bisnis tersebut. Alibaba tidak dapat dihubungi untuk diminta komentar.

Jack Ma dan kerajaannya menjadi sasaran Beijing sebagai bagian dari tindakan keras yang lebih luas terhadap sektor teknologi China yang berupaya kuasai kekuatan raksasa domestiknya.

Pendiri Alibaba telah mendedikasikan waktunya untuk mengajar dan melakukan penelitian di berbagai bidang seperti ilmu pertanian. Alibaba telah mengalami perombakan bersejarah pada 2023 dengan membagi perusahaan menjadi enam kelompok bisnis dan mengganti CEO-nya.