Liputan6.com, Jakarta- Badan penyelesaian perselisihan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah sepakat membentuk sebuah panel untuk mengevaluasi bea masuk yang dikenakan oleh Uni Eropa (UE) terhadap impor biodiesel dari Indonesia. Hal itu diungkapkan oleh WTO pada Senin 27 November 2023.
WTO mengungkapkan bahwa sejumlah negara yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris, Norwegia, Rusia, Thailand, Singapura, Jepang, Kanada, China, Argentina dan Turki menyatakan akan berpartsipasi sebagai pihak ketiga dalam proses evaluasi panel perselisihan tersebut.
Baca Juga
“Upaya banding kasus ini ke WTO sangat strategis untuk menjaga akses pasar produk biodiesel Indonesia di pasar Uni Eropa yang saat ini dikenai bea masuk imbalan sebesar delapan persen hingga 18 persen,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Budi Santoso, dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (29/11/2023).
Advertisement
Dijelaskan bahwa, bea masuk imbalan (countervailing duty) adalah pungutan tambahan yang dikenakan pada barang impor untuk mengimbangi subsidi yang diberikan kepada produsen atau eksportir oleh pemerintah negara pengekspor.
Bea masuk imbalan tersebut dikenakan selama lima tahun mulai 10 Desember 2019 sampai dengan 10 Desember 2024, tambah Budi.
Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, bea masuk tersebut membebani eksportir biodiesel Indonesia dan berharap panel WTO dapat segera memulai proses hukumnya.
Pada Agustus 2023, Indonesia meminta WTO untuk menyelesaikan sengketa dengan Uni Eropa terkait pengenaan bea masuk atas impor biodiesel dari Indonesia.
Namun, konsultasi dilakukan denhan WTO tidak membuahkan kesepakatan.
Kemudian pada bulan Oktober 2023, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia meminta WTO untuk membentuk badan penyelesaian perselisihan, yang sebelumnya tidak diterima oleh UE.
Jaga Harga Sawit Petani, Kelanjutan Program Biodiesel Butuh Kepastian
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah agar tidak membiarkan kasus biodiesel berlarut-larut. Itu dimaksudkan agar kasus tersebut tidak berdampak terhadap masa depan program biodiesel nasional dan petani sawit tidak menjadi korban.
“Kalau ada catatan di biodiesel, kami setuju Kejagung sebagai aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya. Kalau ada yang salah segera diselesaikan agar tidak ada multi tafsir. Orang akan tanya (biodiesel) akan dilanjutkan atau tidak. Tapi itu jangan berlarut-larut karena ini tidak baik bagi kami petani sawit,” kata Ketua Umum Apkasindo Gulat ME Manurung.
Dia mengingatkan, biodiesel merupakan mandatory pemerintah bagi kemandirian energi, dan agar minyak sawit dapat terserap di dalam negeri. Hal itu terbukti selama empat tahun terakhir harga tandan buah segar (TBS) petani juga meningkat mengikuti pergerakan harga minyak sawit dunia.
Data Apkasindo menunjukkan, harga TBS petani pasca implementasi mandatori B30 meningkat menjadi Rp 1.800-2.550 per kg, atau lebih tinggi dibanding tingkat harga pada tahun-tahun sebelumnya yang hanya Rp 700-1.200 per kg.
Menurut Gulat, semua pihak juga perlu hati-hati dalam menyikapi kasus biodiesel karena akan ada efek domino terhadap petani sawit.
Pasalnya, instansi terkait pelaksana program biodiesael, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perekonomian, Pertamina, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Kementerian Pertanian, akan mengevaluasi program tersebut jika ada masalah hukum, bahkan tidak menutup kemungkinan akan dihentikan.
“Kalau biodiesel dihentikan akan ada 13,5 juta ton per tahun minyak sawit yang tidak terserap,” ujar Gulat.
Advertisement
Harga Minyak Sawit
Dia mencontohkan, harga minyak sawit langsung terkoreksi begitu ada berita mengenai kasus biodiesel. Harga tender minyak sawit di Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) turun dari Rp 11.300 per kg dan sempat menyentuh Rp 9.800 per kg.
“Harga minyak sawit yang anjlok akan terkoneksi dengan 17 juta petani. Isu sawit yang sedang tidak baik-baik saja akan mempengaruhi industri (sawit) secara global di Indonesia,” papar dia.
Berdasarkan catatan Apkasindo, harga TBS petani swadaya terjun bebas dari Rp 3.300 per kg menjadi di bawah Rp 1.500 per kg saat ada larangan ekspor minyak goreng dan bahan baku turunannya, termasuk minyak sawit pada 28 April 2022.
Harga Mulai Terkerek
Harga mulai terkerek menjadi Rp 2.200 per kg saat pemerintah membuka kembali keran ekspor pada 24 Mei tahun lalu. Setelah itu harga terus fluktuatif di bawah Rp 2.500 per kg, dan belum pernah pulih seperti sebelum adanya larangan ekspor.
Gulat mengingatkan, pemerintah perlu mengapresiasi industri sawit nasional. Ekonomi Indonesia dapat bangkit dengan cepat usai pandemi karena ditopang oleh industri kelapa sawit.
“Dunia sampai takut kekurangan suplai minyak sawit, tapi di dalam negeri emas hijau tersebut belum menjadi icon,” kata Gulat.
Advertisement