Liputan6.com, Jakarta Perekonomian global diperkirakan akan sedikit melambat di 2024 mendatang, namun risiko hard landing telah mereda meskipun adanya tingkat utang tinggi dan ketidakpastian suku bunga.
Perkiraan terbaru itu dirilis oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Baca Juga
Melansir Channel News Asia, Jumat (1/12/2023) OECD dalam laporan Economic Outlook terbarunya memprediksi pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 2,9 persen tahun ini menjadi 2,7 persen pada 2024 mendatang.
Advertisement
Ramalan OECD menunjukkan ekonomi global akan kembali meningkat pada tahun 2025 ke angka 3,0 persen.
Pertumbuhan di negara-negara maju yang tergabung dalam 38 negara anggota OECD terlihat menuju soft landing dengan Amerika Serikat yang bertahan lebih baik dari perkiraan sejauh ini.
OECD memperkirakan pertumbuhan AS akan melambat dari 2,4 persen tahun ini menjadi 1,5 persen tahun depan, merevisi perkiraannya dari bulan September ketika mereka memproyeksi Amerika tumbuh 2,2 persen di 2023 dan 1,3 persen untuk 2024.
Meskipun risiko terjadinya hard landing di Amerika Serikat dan negara lain telah mereda, OECD mengingatkan risiko resesi masih mungkin terjadi mengingat lemahnya pasar perumahan, tingginya harga minyak, dan lesunya pinjaman.
Selain itu, perekonomian Tiongkok juga diperkirakan masih akan melambat karena negara tersebut bergulat dengan anjloknya industri real estat dan konsumen lebih banyak menabung di tengah ketidakpastian yang lebih besar mengenai prospek perekonomian.
Ekonomi Tiongkok diprediksi akan menurun dari 5,2 persen tahun ini menjadi 4,7 persen pada tahun 2024, dan akan melambat lebih lanjut pada tahun 2025 menjadi 4,2 persen, menurut perkiraan OECD.
Â
OECD Ramal Eropa Pulih Setelah Jerman Lolos dari Risiko Resesi
Sedangkan di kawasan euro, pertumbuhan yang meningkat 0,6 persen tahun ini akan sedikit naik menjadi 0,9 persen pada tahun 2024 dan 1,1 persen pada tahun 2025 ketika Jerman, negara dengan perekonomian terbesar di zona euro keluar dari risiko resesi tahun ini.
Meskipun demikian, OECD memperingatkan bahwa, karena tingginya tingkat pembiayaan bank di zona euro, dampak penuh dari kenaikan suku bunga masih belum pasti dan dapat membebani pertumbuhan lebih dari yang diperkirakan.
Ekonomi Jepang Diramal Ikut Melambat
Sementara itu, Jepang, satu-satunya negara maju yang belum menaikkan suku bunga, diperkirakan mengalami pertumbuhan yang lambat dari 1,7 persen di 2023 menjadi 1,0 persen pada 2024 mendatang sebelum pulih kembali menjadi 1,2 persen.
Meskipun prospek pertumbuhan negara-negara tersebut berbeda-beda, negara-negara G7 mempunyai tekanan fiskal yang serupa dengan beban utang yang diproyeksikan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang, demikian prediksi OECD.
Advertisement
Ekonomi Global Masih Gonjang Ganjing, 2 Negara Besar Ini Terseok-seok
Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali menyoroti kondisi ekonomi global yang dapat mempengaruhi kinerja Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan ekonomi Indonesia.
"Pertama, tentu selama bulan September-Oktober volatilitas dari sektor keuangan terutama dari negara-negara maju itu masih sangat dominan," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi November 2023 pada Jumat (24/11/2023).
Sri Mulyani memaparkan, di Amerika Serikat, US Treasury mengalami dinamika yang cukup tinggi bahkan pada bulan Oktober 2023 sempat mencapai di atas 5% untuk US Treasury 10 tahun.
Lonjakan ini terjadi pertama kali sejak tahun 2007, dan menyebabkan terjadinya capital outflow dari berbagai negara.
Sehingga situasi di Amerika ini menyebabkan makin tingginya cost of fund atau biaya untuk meminjam dari seluruh negara di dunia. Selain itu, suku bunga The Fed yang tinggi juga menciptakan tekanan terhadap nilai tukar berbagai negara.
"Indeks US Dollar menguat dan itu menimbulkan implikasi kepada seluruh negara di dunia," ujar Sri Mulyanix
Di sisi lain, negara kedua terbesar yaitu RRT (Republik Rakyat Tiongkok) masih di dalam posisi perlemahan yang diperkirakan sifatnya jangan menengah-panjang.
Menkeu lebih lanjut menjelaskan, hal ini dikarenakan faktor struktural, seperti aging, kemudian masalah sektor properti, dan dari sisi pinjaman dari pemerintah daerah di perekonomian China menyebabkan beban yang cukup tinggi sehingga pemulihan ekonomi tidak berjalan secara cepat.
Perang Rusia-Ukraina
Adapun zona euro yang masih di dalam situasi di mana dampak perang Rusia-Ukraina maupun inflasi yang tinggi telah mendorong kenaikan suku bunga yang tinggi, di mana pada gilirannya menyebabkan resesi di negara Eropa, seperti Jerman dan juga Inggris.
"Secara non ekonomi, gepolitik menjadi dominan. sekarang dengan adanya tidak hanya perang di Eropa tapi juga di Timur Tengah yang akan berpotensi menimbulkan disrupsi maupun dampak yang lain,"Â ucap Sri Mulyani.
"Climate change serta tensi gepolitik juga akan menjadi dua hal yang akan sangat mewarnai selain masalah dari teknologi digital," tambahnya.
IMF bahkan telah merevisi outlook dari perekonomian global tahun depan, diperkirakan tumbuh hanya 2,9% dibandingkan outlook untuk tahun ini yang diperkirakan tumbuh 3,0 persen.
Tetapi Sri Mulyani optimis, Indonesia masih diperkirakan tumbuh di 5,0% dan ini termasuk yang tertinggi dibandingkan negara-negara lain di Asean maupun di G20.
Advertisement