Liputan6.com, Beijing - Lembaga pemeringkat internasional Moody’s pada Selasa, (5/12/2023) menurunkan prospek peringkat utang China dari stabil menjadi negatif.
Mengutip Channel News Asia, pemulihan ekonomi China setelah pandemi COVID-19 terhambat oleh lemahnya kepercayaan konsumen dan dunia usaha, krisis perumahan yang berkepanjangan. Selain itu, tingginya angka pengangguran kaum muda dan perlambatan global yang membebani permintaan barang-barang China.
Baca Juga
Kekhawatiran itu telah menambahkan tekanan pada pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan lebih banyak dukungan keuangan menyusul penerbitan obligasi negara senilai satu triliun yuan atau sekitar Rp 2.174 triliun (asumsi yuan terhadap rupiah di kisaran 2.174) oleh Beijing pada Oktober.
Advertisement
Moody’s menyebutkan, keputusannya mencerminkan semakin banyak bukti dukungan keuangan akan diberikan oleh pemerintan dan sektor publik yang lebih luas untuk memberikan kepada pemerintah regional dan lokal, serta perusahaan milik negara yang alami tekanan keuangan.
"Hal ini menimbulkan risiko penurunan yang luas terhadap kekuatan fiskal, ekonomi dan kelembagaan China,” demikian dalam laporan Moody’s.
Langkah ini mencerminkan peningkatan risiko terkait dengan penurunan pertumbuhan ekonomi jangka menengah secara struktural dan terus menerus serta perampingan sektor properti yang sedang berlangsung.
Sektor properti China terperosok dalam krisis utang yang parah. Hal ini seiring beberapa pengembang terbesar di China berutang ratusan miliar dolar Amerika Serikat dan terancam bangkrut.
Pihak berwenang berada dalam kondisi tegang karena kekhawatiran utang memicu ketidakpercayaan pembeli, anjloknya harga rumah dan yang terpenting mengancam sektor lain dalam kondisi ekonomi yang sudah lesu. Konstruksi dan real estate menyumbang sekitar seperempat produk domestik bruto (PDB) China.
Respons Pemerintah China
Sementara itu, Kementerian Keuangan China merespons keputusan Moody’s tersebut. China kecewa dengan keputusan lembaga pemeringkat internasional tersebut.
“Sejak awal tahun ini, menghadapi situasi internasional yang kompleks dan parah serta dengan latar belakang pemulihan ekonomi global yang tidak stabil dan melemahnya momentum makro ekonomi China untuk pulih,” ujar seorang juru bicara.
“Kekhawatiran Moody’s terhadap prospek pertumbuhan ekonomi China dan keberlanjutan fiskal tidak diperlukan.
Setelah tahun yang berat bagi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini, ada sedikit perubahan dalam beberapa minggu terakhir. Pertumbuhan ekonomi kuartal III 2023 lebih besar dari perkiraan sebesar 4,9 persen.
China menargetkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen pada 2023 dari angka terendah pada tahun lalu saat ekonomi lumpuh karena pembatasan ketat akibat COVID-19.
Moody’s prediksi ekonomi China akan tumbuh 4 persen pada 2024 dan 2025 dengan faktor struktural termasuk demografi yang lebih lemah mendorong penurunan potensi pertumbuhan menjadi sekitar 3,5 persen pada 2030.
“Reformasi yang substansial dan terkoordinasi akan diperlukan untuk konsumsi dan produksi bernilai tambah yang lebih tinggi untuk mendorong pertumbuhan guna mengimbangi berkurangnya peran sektor properti,” demikian dalam laporan itu.
Advertisement
S&P: Ekonomi China Loyo, India Bakal Pimpin Pertumbuhan Asia Pasifik
Sebelumnya diberitakan, ketika perekonomian Tiongkok melambat, mesin utama pertumbuhan Asia-Pasifik diperkirakan akan beralih ke kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Hal itu diungkapkan oleh lembaga pemeringkat S&P Global.
Melansir CNBC International, Jumat (1/12/2023) S&P memperkirakan ekonomi India akan semakin menguat dalam tiga tahun ke depan, memimpin pertumbuhan di kawasan Asia-Pasifik.
S&P meramal, PDB India untuk kuartal pertama 2024 diperkirakan mencapai 6,4 persen, lebih tinggi dari perkiraan mereka sebelumnya sebesar 6 persen.
S&P mengaitkan perubahan ini dengan peningkatan konsumsi domestik India yang menyeimbangkan inflasi pangan yang tinggi dan aktivitas ekspor yang buruk.
Demikian pula, negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina diperkirakan akan mengalami pertumbuhan PDB yang positif pada tahun ini dan tahun depan karena kuatnya permintaan domestik.
Namun, S&P menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi India menjadi 6,5 persen pada tahun fiskal 2025, turun dari prediksi mereka sebelumnya sebesar 6,9 persen.
Ekonomi India diperkirakan akan naik kembali menjadi 7 persen pada tahun fiskal 2026.
Sebagai perbandingan, pertumbuhan Tiongkok diperkirakan sebesar 5,4 oersen pada tahun 2023, 0,6 persen lebih tinggi dari perkiraan S&P sebelumnya.
Sementara pertumbuhan pada tahun 2024 diperkirakan sebesar 4,6 persen, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,4 persen.
"Persetujuan Tiongkok baru-baru ini terhadap penerbitan obligasi negara senilai 1 triliun renminbi Tiongkok (RMB) dan tunjangan bagi pemerintah daerah untuk memenuhi sebagian kuota obligasi tahun 2024, berkontribusi terhadap perkiraan pertumbuhan PDB riil kami," kata S&P dalam catatannya.
Sektor Real Estate
Namun, S&P memperingatkan bahwa gejolak di sektor real estat Tiongkok akan terus menjadi ancaman bagi perekonomiannya.
"Permintaan terhadap properti baru masih lesu, sehingga mempengaruhi arus kas pengembang dan penjualan lahan," kata Eunice Tan, kepala penelitian kredit Asia-Pasifik di S&P Global.
"Di tengah terbatasnya likuiditas, kendaraan pembiayaan pemerintah daerah (LGFV) yang memiliki banyak utang dapat menyebabkan tekanan kredit semakin meningkat dan berdampak pada posisi permodalan bank-bank Tiongkok," jelasnya.
Dampak Konflik Israel-Hamas
Terlepas dari optimisme S&P di Asia-Pasifik, guncangan energi akibat konflik Israel-Hamas dan risiko penurunan ekonomi AS menyebabkan lembaga S&P menurunkan perkiraannya untuk wilayah tersebut (tidak termasuk Tiongkok) tahun depan menjadi 4,2 persen dari 4,4 persen.
Advertisement