Sukses

Xi Jinping Sebut Pemulihan Ekonomi China Masih di Titik Kritis

Laporan media pemerintah China, CCTV membeberkan, Xi Jinping mendesak langkah-langkah untuk meningkatkan ekonomi China.

Liputan6.com, Jakarta Presiden China Xi Jinping mengakui bahwa pemulihan ekonomi negaranya masih berada pada tahap kritis.

Sebagai informasi, pelemahan ekonomi China didorong oleh aktivitas domestik yang lesu dan permasalahan sektor properti yang belum pulih.

Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini mengalami pertumbuhan moderat sebesar 4,9 persen pada kuartal ketiga 2023, sedikit di bawah target 5 persen yang ditetapkan Beijing, yang merupakan salah satu target terendah dalam beberapa tahun terakhir.

"Saat ini, pemulihan ekonomi negara ini masih berada pada tahap kritis," kata Xi Jinping pada pertemuan Politbiro Partai Komunis China, dikutip dari Channel News Asia, Senin (11/12/2023).

Laporan media pemerintah China, CCTV membeberkan, Xi Jinping mendesak langkah-langkah untuk meningkatkan perekonomian.

"Situasi pembangunan yang dihadapi negara ini rumit, dengan meningkatnya faktor-faktor buruk dalam lingkungan politik dan ekonomi internasional," ujar Xi Jinping.

"Penting untuk fokus pada percepatan pembangunan sistem industri modern, memperluas permintaan domestik, (dan) mencegah dan mengurangi risiko," tambahnya.

Selain itu, Presiden China juga menekankan perlunya memperkuat kemandirian di sektor-sektor utama ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mempercepat pembangunan tata letak baru.

Seperti diketahui, para pejabat China telah berjuang untuk mempertahankan pemulihan dari dampak pandemi COVID-19, bahkan setelah menghentikan tindakan pembatasan pada akhir tahun 2022.

Ekspor China telag naik pada bulan November 2023 untuk pertama kalinya dalam tujuh bulan, para pejabat mengumumkan pada hari Kamis.

Ekspor China, yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan sebagian besar telah mengalami penurunan sejak Oktober lalu, kecuali pemulihan jangka pendek pada bulan Maret dan April 2023. Penurunan impor yang mengejutkan di bulan November menunjukkan lemahnya aktivitas konsumen di dalam negeri.

2 dari 3 halaman

S&P: Ekonomi China Loyo, India Bakal Pimpin Pertumbuhan Asia Pasifik

Ketika perekonomian Tiongkok melambat, mesin utama pertumbuhan Asia-Pasifik diperkirakan akan beralih ke kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Hal itu diungkapkan oleh lembaga pemeringkat S&P Global.

Melansir CNBC International, Jumat (1/12/2023) S&P memperkirakan ekonomi India akan semakin menguat dalam tiga tahun ke depan, memimpin pertumbuhan di kawasan Asia-Pasifik.

S&P meramal, PDB India untuk kuartal pertama 2024 diperkirakan mencapai 6,4 persen, lebih tinggi dari perkiraan mereka sebelumnya sebesar 6 persen.

S&P mengaitkan perubahan ini dengan peningkatan konsumsi domestik India yang menyeimbangkan inflasi pangan yang tinggi dan aktivitas ekspor yang buruk.

Demikian pula, negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina diperkirakan akan mengalami pertumbuhan PDB yang positif pada tahun ini dan tahun depan karena kuatnya permintaan domestik.

Namun, S&P menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi India menjadi 6,5 persen pada tahun fiskal 2025, turun dari prediksi mereka sebelumnya sebesar 6,9 persen.

Ekonomi India diperkirakan akan naik kembali menjadi 7 persen pada tahun fiskal 2026.

Sebagai perbandingan, pertumbuhan Tiongkok diperkirakan sebesar 5,4 oersen pada tahun 2023, 0,6 persen lebih tinggi dari perkiraan S&P sebelumnya.

Sementara pertumbuhan pada tahun 2024 diperkirakan sebesar 4,6 persen, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,4 persen.

"Persetujuan Tiongkok baru-baru ini terhadap penerbitan obligasi negara senilai 1 triliun renminbi Tiongkok (RMB) dan tunjangan bagi pemerintah daerah untuk memenuhi sebagian kuota obligasi tahun 2024, berkontribusi terhadap perkiraan pertumbuhan PDB riil kami," kata S&P dalam catatannya.

3 dari 3 halaman

Sektor Real Estat

Namun, S&P memperingatkan bahwa gejolak di sektor real estat Tiongkok akan terus menjadi ancaman bagi perekonomiannya.

"Permintaan terhadap properti baru masih lesu, sehingga mempengaruhi arus kas pengembang dan penjualan lahan," kata Eunice Tan, kepala penelitian kredit Asia-Pasifik di S&P Global.

"Di tengah terbatasnya likuiditas, kendaraan pembiayaan pemerintah daerah (LGFV) yang memiliki banyak utang dapat menyebabkan tekanan kredit semakin meningkat dan berdampak pada posisi permodalan bank-bank Tiongkok," jelasnya.

Dampak Konflik Israel-Hamas

Terlepas dari optimisme S&P di Asia-Pasifik, guncangan energi akibat konflik Israel-Hamas dan risiko penurunan ekonomi AS menyebabkan lembaga S&P menurunkan perkiraannya untuk wilayah tersebut (tidak termasuk Tiongkok) tahun depan menjadi 4,2 persen dari 4,4 persen.