Liputan6.com, Jakarta PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) sebagai sub holding PLN Group menegaskan komitmennya dalam pengelolaan pasokan batu bara sebagai sumber utama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Hal ini dilakukan guna mengoptimalkan potensi tambang yang tersedia untuk meningkatkan kualitas energi listrik yang dihasilkan.
Direktur Utama PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) Iwan Agung Firstantara menjelaskan, disiplin praktik tersebut secara konsisten dilakukan sehingga mampu meningkatkan ketersediaan cadangan batubara untuk PLTU demi keterjaminan listrik yang andal bagi konsumen.
Baca Juga
Advertisement
”Kalau batu bara yang ada itu basah atau lengket maka ini bisa mengganggu proses pembongkaran dan handling PLTU. Begitu juga jika ukuran dari batu bara itu oversized, hal ini juga bisa mengakibatkan delay bahkan blockage yang menimbulkan biaya tambahan , jadi kami benar-benar selektif dalam melakukan pengelolaan, sehingga listrik yang kita sajikan dapat terus stabil bagi masyarakat,” kata Iwan, Rabu (13/12/2023).
Iwan mengutarakan, dampak dari batu bara yang buruk sangat berkontribusi menurunkan performance dari PLTU yang ada bahkan memicu potensi emisi yang lebih besar.
Pengelolaan Batu Bara
Untuk itu kata Iwan, selain menerapkan Pengelolaan Batubara yang baik, PLN Group juga mengimplementasikan prosedur FIFO (First In First Out) mulai dari penambangan sampai di PLTU. Tak hanya itu, batu bara yang sampai di PLTU pun melalui serangkaian proses pengawasan dari loading port sampai ke PLTU sehingga dapat memenuhi kecukupan PLTU.
”Jadi dalam proses pemakaian batu bara di PLTU, kami sangat memperhatikan kaidah-kaidah, sehingga batu bara yang dieksploitasi dapat optimal termanfaatkan,” tegas Iwan.
Iwan mengungkapkan, sejalan dengan roadmap mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2030 dan Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060. PLN EPI memastikan bahwa PLTU yang dimiliki selalu mematuhi Baku Mutu Standar Emisi sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Republik Indonesia (RI) No 15/2019.
"Selama PLTU beroperasi, kami selalu berupaya menekan emisinya semaksimal mungkin menggunakan berbagai teknologi termutakhir. Emisinya juga dimonitor secara realtime dan terhubung langsung dengan dashboard di Kementerian Lingkungan Hidup," terang Iwan.
Lewati Periode Puncak, Harga Batu Bara 2024 Diramal USD 110-USD 130 per Ton
Harga batu bara ICE Newcastle kontrak Januari 2024 melemah 0,36 persen menjadi USD 153,1 per ton. Penurunan harga batu bara ini diprediksi akan terus terjadi di tahun depan akibat beberapa faktor.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya mengatakan, program transisi energi tampaknya baru akan terasa dampaknya setelah 2025. Pasalnya, beberapa negara besar seperti Amerika Serikat dan India masih harus menahan kenaikan harga saat hajatan pemilu.
"Prediksi awal saya sih harga masih sekitar USD 110-130. Jadi tidak di bawah USD 100," ujar Berly dalam webinar Road to IMEC 2023, Selasa (12/12/2023).
Berly menilai, harga puncak batu bara sudah dilalui ketika terjadi kenaikan di atas USD 300 per ton pada masa pandemi Covid-19. Namun, tensi geopolitik khususnya antara Ukraina dan Rusia membuat harga batu bara perlahan melorot.
"Kita sudah memasuki di post peak. Jadi peak-nya biasanya lebih lama, tapi dipercepat kemarin karena kombinasi dengan tensi-tensi geopolitik khususnya di Ukraina," terang dia.
Advertisement
Relasi Ekonomi
Selain itu, ia turut menyoroti rencana barat untuk melepas relasi ekonomi dengan China atau decoupling. Kendati begitu, kekuatan mekanisme pasar tidak serta merta mendukung rencana pemisahan ekonomi itu.
"Jadi saat ini posisi dimana produksi meningkat, tapi exces dan penned up demand-nya sudah lewat. Walaupun, dengan movement out of China juga membutuhkan energi, tapi turunnya tidak jauh. Tapi tren menurun saya amati akan terjadi di 2024," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia juga mencermati proses pemulihan pasca pandemi di negara berkembang yang masih ditenagai oleh energi fosil. Meskipun negara seperti Indonesia juga sudah berkomitmen untuk beralih menuju renewable energy, namun itu masih memerlukan waktu lebih lama ketimbang Uni Eropa atau Amerika Serikat yang punya kekuatan dana.
"Jadi ini warning, bahwa memang transisi itu real dan akan jadi tren global walaupun negara berkembang belakangan. Prediksi kasar saya, peak production atau export demand itu 5 tahun ke depan. Setelah itu negara berkembang akan ikut transisi ke renewable setelah harganya juga semakin murah," tuturnya.