Sukses

Tingkat Sadar Risiko Masyarakat Indonesia Masih Rendah, Ini Buktinya

MASINDO mengadakan talk show membicarakan tentang sadar diri masyarakat terhadap risiko dianggap masih rendah

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Sadar Risiko (MASINDO) bekerja sama dengan At America, menggelar talk show bertajuk "Unleashing Youth Power in Shaping the Future."

Talk show yang diselenggarakan pada Jumat (15/12/2023) ini membicarakan tentang sadar diri masyarakat terhadap risiko dianggap masih rendah.

Mendapat dukungan dari Bappenas, Deputi Bidang Pemantauan, Evaluasi dan Pengendalian Pembangunan Erwin Dimas, SE, DEA, MSi mengatakan bahwa risiko itu adalah tantangan yang harus dihadapi, terlebih bagi generasi muda.

"Kita harus antisipasi bagaimana risiko itu diminimalisir, sekarang Bappenas juga menyusun 5 tahun ke depan, gimana risiko-risikonya. Membangun apa pun, itu pasti ada risikonya bagi lingkunhan. Maka, suarakanlah dengan jalur yang tepat, jangan jadikan beban," ujar Erwin, ditulis Senin (18/12/2023).

MASINDO adalah komunitas yang sadar akan potensi risiko yang dapat memengaruhi kehidupan serta menekankan pentingnya meminimalisasi risiko dalam kegiatan sehari-hari. Oleh karenanya, Ketua MASINDO Dimas Syailendra Ranadireksa sangat setuju dengan pernyataan Erwin.

Dimas menjelaskan bagaimana organisasinya ini concern terhadap risiko. Sependapat dengan Erwin, juga berpendapat bahwa ini ada hubungannya dengan generasi muda, yang mana akan menjadi leader di masa depan.

"Sadar risiko ini suatu pola pikir yang 'nanti gimana?' bukan 'gimana nanti?'. Kami juga berharap anak-anak Indonesia punya sadar risiko, tahu persiapan sebelum jatuh," ungkapnya.

Dimas juga mengatakan saat ini masih ada masyarakat yang bertindak tanpa berpikir konsekuensinya dalam banyak aspek.

“Pendeknya, ada masyarakat sering berbuat tanpa berpikir bagaimana risikonya,” tuduhnya.

Beberapa contoh dari budaya masyarakat yang masih belum sadar risiko ialah masih banyak masyarakat yang tertipu investasi bodong, berkendara motor namun tidak menggunakan helm, membuang sampah secara sembarangan menebar kebencian di medsos.

2 dari 2 halaman

Sadar Risiko Berkorelasi dengan Well Being

CEO dan Founder Think Policy, Andhyta F. Utami atau biasa dipanggil Afu, salah satu pembawa materi dalam acara talk show ini juga ikut berpendapat mengenai budaya sadar risiko.

Dia beranggapan bahwa untuk menjadikan Indonesia negara yang penuh sadar risiko, perlu masyarakatnya yang memiliki kebiasaan yang baik dan sejahtera.

"Bisa jadi indonesia untuk jadi sadar risiko, ini secara langsung berkorelasi langsung dengan konteks masyarakat yang well being dulu. Orang Indonesia memutuskan kehidupan beberapa masih dengan pola pikir 'gimana nanti?', misal nikah, beli rumah, dilakuin dulu, sedang risiko pemikiran jangka panjangnya itu kurang," bubuh Afu.

Di dalam acara ini, Afu membeberkan tiga tantangan yang menjadi concern utama dari keadaan dunia saat ini, yakni krisis iklim, risiko majunya teknologi digital, dan sosial ekuitas.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hari Prasetiyo mengatakan bahwa banyak masyarakat yang jahat justru lebih peduli terhadap risiko, sedang orang baik cenderung abai dengan risiko."Kebanyakan orang Indonesia itu risk taker, gak peduli bagaimana risikonya yang penting tujuannya sampai. Misal penjahat justru mikir, melakukan kejahatan dapat sanksi 10 tahun tapi risiko ketahuannya kecil, makanya tetep dilakukan," ujar Hari.

Fokus selanjutnya upaya-upaya mengurangi bahaya dari risiko yang ada. Dimas mengatakan mengurangi risiko adalah upaya mencari solusi rasional mengurangi akibat yang mungkin ada.

Oleh sebab itu, pihaknya pun bergerak sosialisasi konsep meminimalisasi risiko melalui penggunaan produk alternatif yang lebih rendah risiko baik bagi kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan lainnya.

Contohnya inovasi mobil listrik, kantong belanja biodegradable, penggunaan produk tembakau alternatif seperti snus, vape, produk tembakau yang dipanaskan untuk menekan risiko kebiasaan merokok.

Dengan begitu masyarakat perlu mempunyai solusi untuk mengurangi risiko, jika itu memang kebiasaan tersebut sulit dihindari sepenuhnya.

“Misalnya dalam dunia investasi kita mengenal konsep “risk management”, untuk hal seperti ini,” kata Dimas.