Sukses

Kaleidoskop 2023: Wacana Pertamax Jadi BBM Subsidi Tuai Pro Kontra

Pada Agustus 203 lalu, muncul wacana agar BBM Pertamax mendapatkan subsidi. Selama ini merupakan BBM nonsubsidi yang harganya fluktuatif mengikuti kompenan pembentuk harga, seperti harga minyak dunia.

Liputan6.com, Jakarta Pada Agustus 203 lalu, muncul wacana agar BBM Pertamax mendapatkan subsidi. Selama ini merupakan BBM nonsubsidi yang harganya fluktuatif mengikuti kompenan pembentuk harga, seperti harga minyak dunia.

Usulan Pertamax menjadi BBM subsidi muncul dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan rencana untuk membatasi penyaluran BBM jenis Pertalite (RON 90). Di sisi lain, pihak instansi juga berencana memberikan subsidi kepada BBM jenis Pertamax (RON 92).

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, rencana pembatasan BBM Pertalite saat ini masih di tingkat pembahasan internal. Pasalnya, keputusan itu perlu mempertimbangkan sisi teknis maupun ekonomi.

"Kita lagi bahas, lagi lihat secara teknis maupun secara regulasi dan secara keekonomian, karena kan berbeda. Tapi kami masih bahas di internal," ujar Dadan.

Pembahasan internal itu pun termasuk rencana mengalokasikan anggaran subsidi untuk Pertamax. "Itu termasuk yang sedang dibahas," imbuh Dadan.

Dadan menyebut, pembahasan ini digelar lantaran bahan bakar dengan tingkat oktan rendah semisal Pertalite punya peluang lebih besar untuk menyumbang polusi udara.

Di sisi lain, semakin tinggi nilai oktan atau research octane number (RON) yang terkandung di dalamnya, maka pembuangan emisinya akan lebih sedikit.

"Kan secara teknis makin tinggi angka oktan, pembakarannya makin bagus. Kalau pembakaran makin bagus, emisi akan semakin sedikit. Jadi kita lagi lihat juga, apakah bisa dilakukan upaya untuk peningkatan angka oktan untuk bahan bakar," tuturnya.   

2 dari 4 halaman

Pemerintah Punya Anggaran untuk Subsidi?

Wacana Pertamax menjadi BBM subsidi menuai perhatian, salah satunya soal ketersediaan anggaran untuk subsidi.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya menilai pemberian subsidi untuk BBM jenis Pertamax (RON 92) butuh perhitungan matang.

Ia mengaku belum menghitung lebih jauh terkait nilai keekonomian dengan pemberian subsidi tersebut. Sebab, pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga belum membocorkan lebih lanjut, apakah pemberian subsidi untuk Pertamax ini akan mencopot status Pertalite sebagai BBM subsidi atau tidak.

Namun, Berly tak ingin penyertaan dana negara untuk BBM Pertamax justru memberatkan APBN.

"Skemanya perlu disusun supaya subsidi Pertamax tidak membengkak tinggi di APBN," ujar dia kepada Liputan6.com.

Selain dari sisi APBN, dia juga ingin pemerintah memperhitungkan alokasi subsidi di mata pasar. Sebab, berkaca terhadap penyaluran BBM bersubsidi jenis Pertalite, itu masih rentan dipermainkan oleh konsumen yang semustinya tak berhak.

"Secara prinsip dan untuk kasus BBM subsidi barang rentan digunakan oleh masyarakat berpendapatan menengah atas dan atas," kata Berly.

Menurut dia, sudah seharusnya alokasi subsidi BBM ditujukan pada sektor konsumen, bukan untuk produknya. Sehingga itu bisa turut mengajak pengguna kelompok menengah atas secara perlahan beralih ke moda transportasi publik.

"Sudah saatnya ditransformasi menjadi subsidi orang, dimana masyatakat yang terindikasi sebagai miskin atau rentan miskin (sampai 2-3 kali garis kemiskinan) mendapatkan cash transfer rutin untuk penggunaan yang wajar. Itu sebagai bagian dari proses transisi ke public transport dan EV (tidak selamanya)," tuturnya.

  

  

3 dari 4 halaman

Kata Menteri ESDM

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif tidak banyak berkomentar soal rencana pembatasan Pertalite dan subsidi Pertamax tersebut. Sebab rencana itu masih dilakukan pendalaman.

"Kita sedang lakukan pendalaman itu segera, supaya memang bisa diambil langkah menyediakan BBM yang ramah lingkungan. Kita juga mengacu pada pengalaman di tempat-tempat lain," ujar Arifin di Kantor Kementerian ESDM.

Dia juga mendorong penggunaan BBM ramah lingkungan guna mengurangi polusi udara. Visi tersebut tampak selaras dengan rencana Kementerian ESDM yang tengah mengkaji pembatasan penyaluran Pertalite (RON 90) dan pemberian subsidi Pertamax (RON 92).

Menurut dia, saat ini ada tiga penyebab utama polusi udara di Jakarta. Pertama dari sektor transportasi, lalu kegiatan industri, dan pembuangan emisi dari sektor pembangkit listrik.

Korodinasi dengan KemenhubUntuk sektor transportasi, Kementerian ESDM perlu berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Adapun salah satu solusi yang ditawarkan Arifin, yakni mendorong pemakaian BBM dengan nilai oktan (RON) lebih tinggi.

"Kita memang ada solusi salah satunya dengan itu. Tapi dengan CO2 sama aja kan hidrokarbonnya yang dipakai untuk itu. Tapi untuk mengurangi monoksida, sulfat, timbal kalau ada, itu juga harus dilakukan perbaikan. Kita punya produksi BBM-nya," tuturnya.

Ditanya secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana melontarkan hal serupa dengan Menteri ESDM terkait rencana pemberian subsidi untuk Pertamax. Dia pun belum mau membocorkan lebih lanjut soal rencana itu.

"Masih dilakukan pendalaman," ujar Dadan kepada Liputan6.com singkat, Selasa (29/8/2023).   

4 dari 4 halaman

Untung Rugi Pertamax jadi BBM Subsidi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Daymas Arangga, mengatakan lebih baik Pemerintah memperhatikan lagi terkait revisi Perpres Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Lantaran aturan tersebut masih belum jelas. 

Menurutnya, revisi aturan tersebut diperlukan agar subsidi bahan bakar minyak bisa lebih tepat sasaran.

"Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah revisi Perpres No 191 tahun 2014 terkait siapa yang berhak untuk menerima bahan bakar bersubsidi, karena sampai saat ini belum ada kejelasan terkait revisi yang menjelaskan target siapakah yg memang berhak untuk membeli JBT dan JBKP," kata Daymas kepada Liputan6.com.

Selain itu, ia menilai pemberian subsidi untuk BBM jenis Pertamax dikhawatirkan akan mengulang skema Premium dan Pertalite yang pada akhirnya akan menambah beban subsidi negara.

Pihaknya mengaku telah berulang kali menyuarakan bahwa subsidi sebaiknya diberikan langsung kepada yang berhak, dibandingkan dengan pemberian subsidi pada komoditas bahan bakarnya.

"Karena kencenderungan subsidinya tidak tepat sasaran sangatlah tinggi," ujarnya.