Sukses

BRIN Bilang Gaji Pekerja China di Indonesia Lebih Besar, Luhut: Jangan Asal Ngomong!

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, menanggapi pernyataan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menyoroti angka tenaga kerja asing (TKA) China yang jumlahnya tidak sebanding dengan nilai investasi ke Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menanggapi pernyataan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menyoroti angka tenaga kerja asing (TKA) China yang jumlahnya tidak sebanding dengan nilai investasi ke Indonesia.

Selain itu, BRIN juga kesenjangan upah antara TKA China dan pekerja lokal bisa berjarak hingga berbelas kali lipat. Atas dua pernyataan tersebut, Luhut lantas meminta BRIN untuk menemuinya.

 

"Tolong suruh BRIN-nya ke saya dulu, tunjukin angkanya jangan asal ngomong keluar," ujar Luhut dalam konferensi pers virtual Evaluasi Kinerja 2023 Menuju Indonesia Emas 2045, Jumat (22/12/2023).

Terkait jumlah TKA China, Luhut menyebut itu tergantung jenis investasinya. Sebab, banyak perusahaan China yang mengutamakan efisiensi dengan membawa pekerja dari luar, meskipun harus membayar gajinya lebih mahal.

"Tapi memang untuk bidang-bidang tertentu, kita harus jujur akui, mereka tuh kerjanya sangat efisien dan cepat. Itu yang saya rasakan sekarang," ungkap Luhut.

"Jadi saya enggak yakin bahwa Tiongkok itu akan membawa ramai-ramai pegawainya ke mari. Mungkin di bidang-bidang construction yang mereka perlu cepat karena cost-nya turun, bisa saja terjadi," tuturnya.

Jumlah Pekerja China

Sebelumnya, Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Triyono mengatakan, pekerja asing China mendominasi jumlah pekerja asing di Indonesia yang mencapai 59.320 orang atau sebesar 44,49 persen dari total pekerja asing.

Ia mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menunjukkan Singapura merupakan investor terbesar di Indonesia pada 2022 dengan investasi sebesar USD 13,28 miliar. Namun, Singapura hanya menempatkan pekerja mereka sebanyak 1.811 orang atau 1,35 persen. Hal tersebut tidak sebanding dengan China yang investasinya jauh lebih rendah, yaitu USD 8,22 miliar.

"Kita bisa melihat ternyata perbandingan jumlah investasi tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah tenaga kerja yang dikirim ke negara kita," ujar Triyono dalam sesi diskusi beberapa waktu lalu.

 

 

2 dari 3 halaman

Investasi

Triyono menambahkan model investasi yang dijalankan China memiliki kekhasan, yaitu diiringi pengiriman besar-besaran tenaga kerja. Hal ini, katanya, dapat menimbulkan gejolak di dalam pasar tenaga kerja setempat. Apalagi, pekerja setempat sering kesulitan mendapatkan pekerjaan dalam proyek investasi China.

Lebih lanjut, Triyono menyampaikan sebaran tenaga kerja China di Indonesia sebagian besar berada di wilayah yang memiliki sumber daya alam yang besar terutama nikel. Hal ini bisa dimengerti mengingat investasi yang disasar China adalah industri logam. Karena itu, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, empat provinsi dengan konsentrasi pekerja China tinggi adalah di Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara.

"Sulawesi Tengah memimpin jumlah tenaga kerja China, diikuti Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara. Kalau Sulawesi Tenggara fokusnya di Konawe," tambahnya.

Triyono mencontohkan investasi China di Morowali, Sulawesi Tengah pada 2021 yang mencapai USD 15,3 miliar dan nilai ekspor sebesar USD 10,7 miliar telah menciptakan lapangan pekerjaan untuk 66 ribu individu. Namun, terdapat dinamika perekrutan tenaga kerja di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang merupakan perusahaan patungan antara Tsangshan Steel Holding asal China dan perusahaan lokal PT Bintang Delapan Mineral.

 

3 dari 3 halaman

Kualifikasi Pendidikan

Studi yang dilakukan Widyanta pada 2019 mengungkapkan banyak kandidat lokal dengan kualifikasi pendidikan menengah kesulitan untuk lolos seleksi, meskipun telah mencapai tahap wawancara.

Namun, Triyono juga menyampaikan bahwa ada studi yang menyebutkan inisiatif ini telah berhasil mengurangi pengangguran di kalangan populasi produktif yang mencakup lulusan pendidikan menengah dan tinggi.

Selain itu, Triyono juga mengungkapkan ada keganjilan dalam kontrak kerja di PT IMIP. Ia mencontohkan. ada pekerja dengan kontrak kerja 1 tahun dipecat sebelum waktunya tanpa pemberitahuan resmi, sementara perusahaan mengklaim pekerja tersebut telah mengundurkan diri.

"Kemudian tidak ada job description yang jelas antara pekerja lokal dengan China. Sehingga ketika pekerja lokal melakukan tugas, mereka juga harus mengerjakan tugas lebih dari satu. Ini tidak boleh," katanya.

Triyono juga menemukan, berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan di China pada 2007, ada kesenjangan upah antara pekerja asal China dan pekerja di negara-negara di Asia Tenggara. Sebagai contoh, perbandingan upah pekerja di China 13 kali lipat upah pekerja di Indonesia. Meskipun, Tri mengakui belum memiliki data besaran upah pekerja China yang bekerja di Indonesia.

 

 

Video Terkini