Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati resmi menaikkan cukai hasil tembakau sebesar 10% yang berlaku mulai 1 Januari 2024. Dengan kenaikan cukai ini maka harga rokok tambah mahal.
Kenaikan cukai hasil tembakau tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobor dan Tembakau Iris.
Baca Juga
Dalam penetapan Cukai Hasil Tembakau, Menkeu mengatakan menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok. Di samping itu, pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Advertisement
Pertimbangan selanjutnya mengenai konsumsi rokok yang menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi tersebut melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.
Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai guna mengendalikan baik konsumsi maupun produksi rokok. Menkeu berharap kenaikan cukai rokok dapat berpengaruh terhadap menurunnya keterjangkauan rokok di masyarakat.
Sri Mulyani pun menetapkan batas harga eceran rokok per batang atau gram dengan kenaikan cukai tersebut. Berikut rinciannya:
Sigaret Kretek Mesin (SKM)
Sigaret Kretek Mesin (SKM) mengalami penyesuaian harga dengan Golongan I yang diperkirakan mencapai paling rendah Rp 2.260, dan Golongan II sekitar Rp 1.380.
Sigaret Putih Mesin (SPM)
Sigaret Putih Mesin (SPM) yang diperkirakan memiliki harga paling rendah sekitar Rp 2.380 untuk Golongan I dan Rp 1.465 untuk Golongan II.
Sigaret Kretek Tangan (SKT)
Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan (SPT) Golongan I diperkirakan memiliki rentang harga antara Rp 1.375 hingga Rp 1.980. Sedangkan untuk Golongan II mencapai Rp 865. Golongan III harga terendah sekitar Rp 725.
Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF)
Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) atau Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF) yang tidak memiliki golongan spesifik diproyeksikan akan mencapai harga terendah sekitar Rp 2.260.
Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM)
Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM), memperlihatkan penyesuaian harga dengan Golongan I diprediksi memiliki harga paling rendah sekitar Rp 950, dan Golongan II sekitar Rp 200.
Jenis Tembakau Iris (TIS)
Jenis Tembakau Iris (TIS), menunjukkan perubahan harga yang cukup bervariasi. Rentang harganya berkisar dari lebih dari Rp 275 hingga lebih dari Rp 55 - Rp 180, tergantung pada golongan dan jenisnya.
Jenis Rokok Daun atau Klobot (KLB)
Hal serupa terjadi pada Jenis Rokok Daun atau Klobot (KLB), yang diprediksi akan memiliki harga terendah sekitar Rp 290.
Jenis Cerutu (CRT)
Jenis Cerutu (CRT) juga ikut terpengaruh, dengan kisaran harga mulai dari lebih dari Rp 198.000 hingga Rp 495 - Rp 5.500 untuk harga terendahnya.
Cukai Naik 10% di 2024, Siap-Siap Pabrik Rokok Berguguran
Sebelumnya, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto melayangkan kritiknya pada penyusunan RPP tersebut. Menurutnya, apabila disahkan, rancangan peraturan turunan UU Kesehatan tersebut akan berdampak signifikan terhadap IHT.
“Pasti akhirnya berguguran. Dan kalau (industri) berguguran, akibatnya pasti akan banyak PHK,” kata Heri dalam keterangan tertulis, Kamis (14/12/2023).
Ia mengambil Kota Malang sebagai contoh. Heri mengatakan, dulu di sana terdapat 367 perusahaan rokok. Sekarang, hanya tersisa 20 persennya saja atau sekitar 77 perusahaan.
Heri juga mengkritisi wacana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar rata-rata 10% untuk tahun 2024. Ia mengatakan pemerintah perlu melihat kondisi industri saat ini, salah satunya dari fakta merosotnya penerimaan CHT di tahun ini. Menurut Heri, sejak penetapan kenaikan cukai multiyear sebesar 10%, target penerimaan Bea Cukai sepanjang 2023 masih tidak terpenuhi.
Hingga September 2023, penerimaan Bea Cukai hanya tercatat senilai Rp144,8 triliun atau turun 5,4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Artinya, kenaikan ini berdampak pada kinerja industri hasil tembakau yang kian melemah.
“Jadi saya pikir ini tergantung pemerintah akan bagaimana. (Penerimaan) tahun ini saja tidak terpenuhi, bagaimana tahun depan? Kalau (cukai rokok) tetap naik itu ya berat,” ungkapnya.
Advertisement
Penerimaan bagi Negara
Dalam menentukan kebijakan cukai, Heri menegaskan pemerintah perlu melihat dampaknya pada industri yang telah banyak menyumbang penerimaan bagi negara.
Sebagai contoh yaitu industri rokok golongan 1 sebagai penyumbang penerimaan cukai terbesar selalu mendapat kenaikan tarif cukai tertinggi. Akibatnya, golongan I menunjukkan penurunan paling besar, apalagi kenaikan cukai tinggi dilakukan saat daya beli masyarakat masih lemah.
“Yang sekarang berat itu ya golongan 1. Menurut saya, golongan ini perlu diproteksi. Saya lebih senang golongan 1 tidak naik, golongan kami yang dinaikkan,” ujar Heri.
Ia mengaku telah menyampaikan usulan ini bahkan kepada Presiden Joko Widodo. Namun, bagi Heri yang juga tidak kalah penting adalah pemerintah melakukan evaluasi total terhadap kebijakan kenaikan CHT. “Paling tidak rem dulu. Harapannya, pemerintah melihat fakta dengan merosotnya penerimaan, (kebijakan) ini harus dievaluasi total. Supaya optimalisasi penerimaan itu tercapai,” ucapnya.
Kebijakan Dinilai Tak Adil
Secara terpisah, Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menganggap kebijakan pemerintah terhadap pelaku IHT sering kali tidak adil, mulai dari kebijakan kenaikan cukai setiap tahunnya hingga RPP Kesehatan yang di dalamnya banyak mengatur pembatasan produk tembakau.
"Pelaku IHT berkali-kali terkena dampak kenaikan cukai yang eksesif, sekarang sedang khawatir oleh Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang mengatur zat adiktif produk hasil tembakau. Membela mereka adalah tugas konstitusional saya," ujarnya pada Kamis (2/11/2023).
Misbakhun juga menyoroti penyerapan tenaga kerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang besar menjadi bagian dari usaha yang berkontribusi besar bagi Indonesia. Sehingga Misbakhun menegaskan sebaiknya kenaikan cukai hasil tembakau ke depannya, termasuk di segmen SKT, tidak lebih dari lima persen untuk menghindari efek beruntun.
“Dengan naik lima persen saja akan memberikan dampak ikutan yang luar biasa. Ada faktor tingkat penyerapan tembakau dari petani, ketersediaan lapangan kerja, bahkan rokok ilegal dan dampak ekonomi lainnya yang sangat nyata dari kenaikan cukai IHT,” tegasnya.
Advertisement