Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan kembali melaksanakan debat ketiga calon presiden atau debat capres yang digelar Istora Senayan Jakarta pada Minggu 7 Januari 2024.
Tema debat capres cawapres ketiga adalah Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, Globalisasi, Geopolitik dan Politik Luar Negeri.
Baca Juga
Ekonom FEB Universitas Indonesia (UI) Yusuf Wibosono, berharap dalam debat Capres sesi ketiga, semua Capres bisa membahas mengenai permasalahan ketahanan pangan.
Advertisement
"Dari debat capres sesi 3 tentang hubungan internasional dan geopolitik, saya berharap para capres membahas ketahanan pangan, sebagai prioritas terpenting dalam ketahanan nasional kita saat ini," kata Yusuf kepada Liputan6.com, Sabtu (6/1/2024).
Harapan itu lantaran impor pangan Indonesia saat ini masih dalam jumlah yang sangat signifikan. Hal itu menandakan bahwa ketahanan pangan Indonesia masih lemah.
Terlihat dari impor beras tahun ini yang diproyeksikan menembus 3 juta ton akan melampaui impor beras 2,25 juta ton tahun 2018 dan menjadi ironis, karena baru di tahun 2022 lalu Indonesia menerima penghargaan internasional sebab dipandang mampu swasembada beras periode 2019-2021.
Menurutnya, Indonesia hingga kini belum mampu swasembada beras. Bahkan di masa el-nino saat ini, kegagalan tersebut harus dibayar mahal dengan lemahnya ketahanan pangan Indonesia.
"Selama tidak mampu swasembada beras, kita akan terus terekspos dengan resiko impor beras," ujarnya.
Sebagai salah satu negara importir pangan terbesar di dunia, Indonesia tak terhindarkan akan selalu terekspose dengan resiko politik proteksionisme pangan global. Banyak pihak telah lama mengingatkan bahwa bergantung pada pasar pangan global memunculkan kerentanan tinggi pada ketahanan pangan dalam negeri.
"Kerentanan terbesar datang dari ketidakpastian pasokan dan harga pangan internasional," ujarnya.
Â
Krisis Harga Pangan
Yusuf menyebut, Indonesia sudah pernah mengalaminya pada saat krisis harga pangan global 2008, saat itu terutama harga beras di pasar internasional melonjak tinggi, akibat gagal panen, spekulasi di pasar komoditas dan politik pangan negara eksportir beras Pasar beras internasional volumenya kecil, hanya sekitar 5-7 persen dari produksi dunia, sehingga sedikit guncangan di permintaan atau penawaran, akan membuat harga melonjak.
Terlebih pasar beras internasional ini didominasi hanya oleh segelintir negara eksportir seperti Thailand, India, Vietnam dan Pakistan.
"Krisis pangan 2008 harusnya menjadi pelajaran, namun hingga kini kondisi kita tidak banyak berubah, ketergantungan terhadap impor pangan masih sangat tinggi. Dan proyeksi impor beras 3,5 juta ton tahun ini akan menjadi yang tertinggi pasca krisis 1997," katanya.
Disisi lain, kerentanan impor pangan menjadi lebih buruk karena ketergantungan yang tinggi pada beberapa negara sumber impor saja. Pada 2022, Indonesia mengimpor 429 ribu ton beras, dimana 99 persen impor hanya berasal dari hanya 4 negara saja yaitu India (41,6 persen), Thailand (18,7 persen), Vietnam (19,1 persen) dan Pakistan (19,7 persen).
Â
Advertisement
Kerentanan Pangan
Yusuf menilai, kerentanan pangan Indonesia tidak hanya dari beras, namun juga gandum. Pada gandum, ketergantungan Indonesia pada impor mengkhawatirkan, karena Indonesia tidak memproduksi gandum sama sekali alias 100 persen impor, dan Indonesia sejak 2019 tercatat sebagai importir gandum terbesar di dunia.
"Jadi, ancaman pada ketahanan pangan kita tidak hanya dari politik proteksionisme pangan sebagaimana yang dilakukan eksportir beras seperti India, namun juga dari eksportir gandum seperti Ukraina yang terlibat perang dengan Rusia sejak tahun 2022 lalu," ujarnya.
Diketahui, kata Yusuf, pada 2021 kita mengimpor 11,2 juta ton gandum, dimana 25,4 persen nya atau 2,8 juta ton berasal dari Ukraina. Pada 2022, impor gandum turun menjadi 9,4 juta ton dimana hanya 1,8 persen nya atau 167 ribu ton saja yang berasal dari Ukraina.