Liputan6.com, Jakarta Konglomerat perbankan asal China, Zhongzhi Enterprise Group, mengajukan likuidasi kebangkrutan karena gagal bayar utang di tengah krisis real estate yang semakin parah di negara tersebut.
Dikutip dari CNBC International, Selasa (9/1/2024) Zhongzhi Enterprise mengajukan kebangkrutan dengan alasan bahwa perusahaan tersebut tidak memiliki kemampuan untuk membayar utang dan tidak memiliki aset yang cukup untuk membayar iurannya, menurut pernyataan WeChat yang dikeluarkan oleh Pengadilan Menengah Rakyat Pertama di Beijing.
Baca Juga
Bank bayangan di China beroperasi dengan mengumpulkan tabungan rumah tangga dan perusahaan untuk menawarkan pinjaman guna berinvestasi di real estate, saham, obligasi, dan komoditas.
Advertisement
Danai Pengembang Properti
Perusahaan seperti Zhongzhi sering kali mendanai banyak pengembang properti besar di negara itu.
Sebelumnya, pada Agustus 2023 Zhongzhi telah mengungkapkan pihaknya mengalami krisis keuangan. Berita tersebut menyusul laporan terkait perusahaan memberi tahu investor bahwa mereka menghadapi krisis likuiditas.
Zhongzhi kemudian menyatakan kebangkrutan dalam sebuah surat kepada para investornya pada November 2023, tak lama setelah itu polisi Beijing memulai penyelidikan terhadap bank bayangan yang terlilit utang tersebut.
"Meskipun sebagian besar kreditor perusahaan adalah individu kaya dan bukan lembaga keuangan, keruntuhan perusahaan dapat merusak kepercayaan pasar secara umum. Hal ini juga dapat memperbaharui kekhawatiran terhadap industri perwalian dan apakah hal ini akan memiliki implikasi yang lebih luas dan signifikan terhadap industri real estate yang sedang melemah," kata analis di Commerzbank dalam catatan kliennya.
Bank Lain Akan Bangkrut?
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah China telah mencoba membatasi pertumbuhan pesat utang non-bank yang diterbitkan oleh bank bayangan.
Bank-bank terbesar di China merupakan bank-bank milik negara, sehingga menyulitkan perusahaan-perusahaan non-BUMN untuk memanfaatkan bank-bank tradisional untuk mendapatkan pembiayaan, yang telah membantu memacu peningkatan shadow banking.
Sektor properti yang sangat besar di negara itu juga terjebak di tengah tindakan keras terhadap shadow banking yang digunakan oleh perusahaan real estate untuk membeli tanah dari pemerintah daerah.
"Kami tidak mengharapkan dana talangan dari pemerintah karena banyak produk Zhongzhi merupakan produk pengelolaan kekayaan non-standar yang telah lama tidak disarankan atau dilarang oleh regulator China; beberapa di antaranya sebanding dengan skema Ponzi," ucap Zerlina Zeng, analis kredit senior di CreditSights.
"Kita mungkin akan melihat lebih banyak kegagalan pinjaman perwalian karena investasi utamanya adalah kendaraan pembiayaan pemerintah daerah dan utang real estat… pemerintah daerah kemungkinan akan terus memprioritaskan utang publik dibandingkan pinjaman perwalian," Zeng memperingatkan.
Advertisement
Krisis Real Estat China
Seperti diketahui, pasar properti China telah dilanda krisis utang sejak tahun 2020, dengan raksasa real estate seperti Evergrande dan Country Garden kesulitan membayar iurannya. Arus kas mereka menyusut, sebagian besar disebabkan oleh menurunnya penjualan rumah.
Pertumbuhan penjualan dan harga rumah masih lamban, namun Beijing mulai melakukan pengurangan utang (deleveraging) yang lebih luas pada sektor real estat yang dulu pernah membengkak – yang menyumbang secara langsung dan tidak langsung sekitar sepertiga aktivitas ekonomi China.