Sukses

Sumbang Triliunan Rupiah ke Negara, DPR Minta Tembakau Masuk di Debat Capres-Cawapres

Isu tembakau tak dimasukkan dalam debatnya capres - cawapres padahal menyangkut jutaan tenaga kerja, menyangkut Rp 300 triliunan penerimaan negara.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia dinilai membutuhkan pemimpin yang mendukung kepentingan nasional agar industri hasil tembakau (IHT) tak melulu dipojokkan dengan kebijakan yang restriktif. Hal itu mengingat terdapat 300-an regulasi baik di tingkat Undang Undang sampai dengan Peraturan Daerah yang dibuat oleh pemerintah dinilai mengganggu ilklim usaha rokok nasional.

"Diperlukan pemimpin yang mampu melakukan harmonisasi regulasi penting untuk kelangsungan IHT dan memberi arah yang jelas bagi seluruh kepentingan ekosistem pertembakauan," tegas Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun dalam keterangan di Jakarta, Selasa (9/1/2024).

Misbakhun mengingatkan adanya tekanan kepentingan global lewat Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), ditambah lagi dengan polemik RPP terkait tembakau dipastikan petani tembakau dan cengkeh, termasuk pemda penerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) akan terus merana. Padahal, IHT sudah terbukti jelas menjadi tulang punggung penerimaan APBN, dengan setoran cukai sekitar Rp300 triliun setiap tahunnya serta menyerap jutaan tenaga kerja nasional.

"Sampai sekarang kalau cara pemerintah mengelola IHT nasional masih seperti ini, maka perdebatannya tak akan selesai dalam 3 tahun yang akan datang. Dan saya kaget bahwa isu yang sangat krusial seperti ini tak dimasukkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam debat capres-cawapres. Harusnya dimasukkan karena menyangkut jutaan tenaga kerja, menyangkut Rp 300 triliunan penerimaan negara," tegasnya.

Misbakhun menilai RPP yang masuk terlalu dalam ke industri tembakau menafikan hak-hak lain yang juga dijamin Konstitusi seperti petani tembakau. Akibatnya para petani dan buruh tembakau dirugikan.

"Saya berharap pemerintah memahami penolakan yang selama ini sudah berjalan sehingga apa yang menjadi inisiasi yang bersifat restriktif itu dikeluarkan dari RPP Kesehatan. Karena penolakan sudah sangat masif dan pandangan yang lebih objektif sudah masuk ke pemerintah dan harusnya pemerintah bisa lebih adil karena ini tidak hanya menyangkut sektor kesehatan semata," tandasnya.

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, Sulami Bahar mengatakan, selama ini industri hasil tembakau telah berusaha semaksimal mungkin.

"Intinya kami menolak dengan RPP yang sangat eksesif. Harapan kami tidak ada perubahan, kalau alasannya rokok elektrik balum ada regulasinya, ya buatkan regulasi sendiri jangan mengubah regulasi yang telah ada. Artinya PP 109 tetap jalan dan rokok elektrik diatur sendiri," tegas Sulami.

 

2 dari 5 halaman

Sinkronisasi

Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, dalam penyusunan RPP sebagai aturan pelaksana Undang Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, sinergi antar kementerian dan lembaga adalah hal yang utama.

"Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU Cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih,” kata Nirwala.

Nirwala juga mengatakan, sebelum menciptakan peraturan baru, seperti RPP terkait pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 tahun 2012.

“Apakah benar PP 109 perlu direvisi? Apa yang membuatnya perlu direvisi, apakah dari sisi substansi atau dari sisi implementasi? Sebagai contoh, mengenai aturan kemasan yang terkait erat dengan wacana perluasan peringatan kesehatan 90%, apakah ada penelitian bahwa hal tersebut akan menurunkan angka perokok. Lalu mengenai uji nikotin, dimana, siapa dan bagaimana implementasinya,” katanya. 

3 dari 5 halaman

Cukai Naik 10% di 2024, Siap-Siap Pabrik Rokok Berguguran

Sebelumnya, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto melayangkan kritiknya pada penyusunan RPP tersebut. Menurutnya, apabila disahkan, rancangan peraturan turunan UU Kesehatan tersebut akan berdampak signifikan terhadap IHT.

“Pasti akhirnya berguguran. Dan kalau (industri) berguguran, akibatnya pasti akan banyak PHK,” kata Heri dalam keterangan tertulis, Kamis (14/12/2023).

Ia mengambil Kota Malang sebagai contoh. Heri mengatakan, dulu di sana terdapat 367 perusahaan rokok. Sekarang, hanya tersisa 20 persennya saja atau sekitar 77 perusahaan.

Heri juga mengkritisi wacana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar rata-rata 10% untuk tahun 2024. Ia mengatakan pemerintah perlu melihat kondisi industri saat ini, salah satunya dari fakta merosotnya penerimaan CHT di tahun ini. Menurut Heri, sejak penetapan kenaikan cukai multiyear sebesar 10%, target penerimaan Bea Cukai sepanjang 2023 masih tidak terpenuhi.

Hingga September 2023, penerimaan Bea Cukai hanya tercatat senilai Rp144,8 triliun atau turun 5,4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Artinya, kenaikan ini berdampak pada kinerja industri hasil tembakau yang kian melemah.

“Jadi saya pikir ini tergantung pemerintah akan bagaimana. (Penerimaan) tahun ini saja tidak terpenuhi, bagaimana tahun depan? Kalau (cukai rokok) tetap naik itu ya berat,” ungkapnya.

4 dari 5 halaman

Penerimaan bagi Negara

Dalam menentukan kebijakan cukai, Heri menegaskan pemerintah perlu melihat dampaknya pada industri yang telah banyak menyumbang penerimaan bagi negara.

Sebagai contoh yaitu industri rokok golongan 1 sebagai penyumbang penerimaan cukai terbesar selalu mendapat kenaikan tarif cukai tertinggi. Akibatnya, golongan I menunjukkan penurunan paling besar, apalagi kenaikan cukai tinggi dilakukan saat daya beli masyarakat masih lemah.

“Yang sekarang berat itu ya golongan 1. Menurut saya, golongan ini perlu diproteksi. Saya lebih senang golongan 1 tidak naik, golongan kami yang dinaikkan,” ujar Heri.

Ia mengaku telah menyampaikan usulan ini bahkan kepada Presiden Joko Widodo. Namun, bagi Heri yang juga tidak kalah penting adalah pemerintah melakukan evaluasi total terhadap kebijakan kenaikan CHT. “Paling tidak rem dulu. Harapannya, pemerintah melihat fakta dengan merosotnya penerimaan, (kebijakan) ini harus dievaluasi total. Supaya optimalisasi penerimaan itu tercapai,” ucapnya.

5 dari 5 halaman

Kebijakan Dinilai Tak Adil

Secara terpisah, Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menganggap kebijakan pemerintah terhadap pelaku IHT sering kali tidak adil, mulai dari kebijakan kenaikan cukai setiap tahunnya hingga RPP Kesehatan yang di dalamnya banyak mengatur pembatasan produk tembakau.

"Pelaku IHT berkali-kali terkena dampak kenaikan cukai yang eksesif, sekarang sedang khawatir oleh Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang mengatur zat adiktif produk hasil tembakau. Membela mereka adalah tugas konstitusional saya," ujarnya pada Kamis (2/11/2023).

Misbakhun juga menyoroti penyerapan tenaga kerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang besar menjadi bagian dari usaha yang berkontribusi besar bagi Indonesia. Sehingga Misbakhun menegaskan sebaiknya kenaikan cukai hasil tembakau ke depannya, termasuk di segmen SKT, tidak lebih dari lima persen untuk menghindari efek beruntun.

“Dengan naik lima persen saja akan memberikan dampak ikutan yang luar biasa. Ada faktor tingkat penyerapan tembakau dari petani, ketersediaan lapangan kerja, bahkan rokok ilegal dan dampak ekonomi lainnya yang sangat nyata dari kenaikan cukai IHT,” tegasnya.

  

Selanjutnya: Sinkronisasi
Video Terkini