Liputan6.com, Jakarta - Dewan Energi Nasional (DEN) menilai hingga kini masih terdapat beberapa resiko yang dihadapi dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia.
Anggota DEN Satya Widya Yudha, menyebut diantaranya risiko pengembangan panas bumi dalam tahap eksplorasi tinggi, antara lain ditemukannya cadangan (kegagalan menemukan zona permeabel dan suhu tinggi), tidak ada jaringan, dan tidak ada permintaan, pembebasan lahan (waktu berkepanjangan, sewa/beli).
Baca Juga
Kemudian, risiko PLTP dalam tahap pengembangan eksploitasi yang moderat seperti penundaan dan biaya EPCC yang melebihi anggaran mempengaruhi harga keekonomian, negosiasi harga uap/listrik, sosial seperti LSM yang mempengaruhi masyarakat memerlukan dukungan pemerintah daerah, dan pendanaan (kemampuan bank dan memiliki izin tetapi tidak memiliki dana).
Advertisement
Oleh karena itu, DEN memiliki delapan rekomendasi untuk mengurangi risiko pengembangan panas bumi. Pertama, harga panas bumi harus disesuaikan dengan keekonomian proyek.
"Tarif yang meluncur sesuai dengan keekonomian proyek (feed in tariff berdasarkan lokasi jaringan), terjangkau dari segi harga rata-rata bauran energi, tidak membandingkan harga satu jenis energi dengan jenis energi lain yang tidak apple to apple," kata Satya dalam Webinar Strategi Penciptaan Nilai Tambah Panas Bumi sebagai langkah mendukung NZE 2060, Senin (15/1/2024).
Rekomendasi kedua, yakni terkait perizinan agar ada keselarasan peraturan di tingkat yang lebih tinggi seperti Peraturan Presiden Percepatan Pembangunan Panas Bumi terkait izin AMDAL, izin kehutanan (IPPKH/IPJLPB), dan perizinan sumber daya alam.
Â
Insentif Pajak
Ketiga, terdapat penggantian biaya infrastruktur sebagai kompensasi atas kewajiban perpajakan khususnya yang bersifat sosial, risiko eksplorasi ditanggung pemerintah (risk mitigation), internalisasi biaya lingkungan (carbon tax).
"Menurut saya poin ketiga sangat penting karena poin ketiga ini akan betul-betul merubah daripada kontrak, jika kita bisa membuat bahwasannya ada kompensasi resiko ekplorasi ditanggung Pemerintah," ujarnya.
Rekomendasi keempat, yakni perpajakan yang dikenakan adalah hanya menanggung pajak badan (20 persen) dan menerapkan tax holiday serta insentif pajak lainnya.
Kelima, peraturan terkait Energi Terbarukan dapat memuat mitigasi risiko pada setiap fase/tahapannya. Keenam, memberikan jaminan keuntungan ekonomi yang wajar terkait dengan alokasi risiko, yaitu pembagian risiko antara PLN sebagai off taker menjadi tarif kompetitif dan pengembang yang mempunyai risiko menjadi tarif yang menarik, memastikan perlindungan tingkat IRR sesuai dengan usulan berdasarkan perhitungan feed in tariff
Â
Advertisement
Bentuk Konsorsium
Ketujuh, agar pengeboran dibuat lebih efisien, diusulkan untuk membentuk konsorsium/koperasi rig khusus panas bumi, sehingga bisa menekan harga.
Rekomendasi kedelapan, yaitu untuk meningkatkan nilai keekonomian, diharapkan efisiensi biaya dan insentif tax Allowance untuk optimalisasi tarif diharapkan lebih kompetitif.
"Ini rekomendasi kita sebetulnya mendengarkan masukan dari beberapa kali pertemuan baik dengan asosiasi, dan secara terpisah dengan pemain panas bumi yang selama ini. Sehingga masukan-masukan itu menjadi bentuk penetrasi kebijakan Pemerintah di dalam mengakselerasi sumber daya panas bumi itu menjadi skenario yang bisa diwujudkan pada 2060," pungkasnya.