Sukses

Didominasi Wilayah Barat, Transisi Energi Indonesia Masih Dihantui Kesenjangan

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan bahwa hanya 2 provinsi di Indonesia yang memiliki kesiapan energi cukup tinggi.

Liputan6.com, Jakarta Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan bahwa hanya 2 provinsi di Indonesia yang memiliki kesiapan energi cukup tinggi.

Hal itu diungkapkan CELIOS dalam peluncuran laporan "Indeks Kesiapan Transisi Energi Indonesia,” yang merupakan hasil pengolahan data Potensi Desa seluruh Indonesia.

Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar memaparkan, laporan tersebut menunjukkan bahwa DKI Jakarta merupakan satu-satunya provinsi yang berstatus “sangat tinggi” dalam kesiapan transisi energi. Capaian itu disusun Banten dengan status tinggi.

“Datanya menunjukkan signifikan secara agregrat.  Jadi masih ada kesenjangan pada kesiapan transisi energi yang didominasi di wilayah Barat Indonesia,” ungkap Media dalam kegiatan peluncurkan Indeks Kesiapan Transisi Energi Indonesia di Hotel Ashley, Senin (15/1/2024).

Sementara itu, sekitar 70 persen atau kesiapan transisi energi fin24 provinsi berstatus sedang, dan sekitar 20 persen atau 7 provinsi berstatus rendah.

Adapun terkait kesiapan transisi energi secara keseluruhan, di mana DKI Jakarta menempati posisi teratas dengan skor 84,24. 

Capaian tersebut disusul provinsi lain di Pulau Jawa secara berurutan, seperti DI Yogyakarta (66,74), Banten (58,57), Jawa Tengah (55,22), Jawa Barat (55,19), dan Jawa Timur (52,89).

Kemudian Provinsi dengan skor sedang, di antaranya adalah Nusa Tenggara Timur (43,01), Sulawesi Tenggara (42,93), dan Bali (42,65), yang mempunyai peluang untuk meningkatkan kesiapan transisi energi.

Sedangkan provinsi yang memiliki kesiapan transisi energi yang lebih rendah yaitu Papua (3,48), Sulawesi Tengah (28,97), Kepulauan Bangka Belitung (30,71), dan Papua Barat (32,27)

“Provinsi dengan peringkat teratas memiliki akses lebih mudah terhadap sumber daya terkait untuk memperkuat ketahanan ekonomi dan kapasitas pemerintahan dibandingkan provinsi di wilayah lain,” demikian paparan Media.

2 dari 3 halaman

4 Risiko Kembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Indonesia

Sebelumnya, Dewan Energi Nasional (DEN) menyebut terdapat empat resiko yang dihadapi dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia.

Anggota DEN Satya Widya Yudha, menyampaikan, untuk risiko pertama pembangunan pembangkit panas bumiyakni risiko tahap eksplorasi tinggi, antara lain ditemukannya cadangan (kegagalan menemukan zona permeabel dan suhu tinggi), tidak ada jaringan, dan tidak ada permintaan, pembebasan lahan (waktu berkepanjangan, sewa/beli).

"Kalau kita lihat risiko-risiko dalam pengembangan geothermal (panas bumi), kita lihat tahap eksplorasi memiliki resiko yang tinggi karena ditemukannya cadangan atau gagal menemukan zona permeabel yang bagus," kata Satya dalam Webinar Strategi Penciptaan Nilai Tambah Panas Bumi sebagai langkah mendukung NZE 2060, Senin (15/1/2024).

Risiko kedua yakni pada tahap pengembangan eksploitasi yang moderat seperti penundaan dan biaya EPCC yang melebihi anggaran mempengaruhi harga keekonomian, negosiasi harga uap/listrik, sosial seperti LSM yang mempengaruhi masyarakat memerlukan dukungan pemerintah daerah, dan pendanaan (kemampuan bank dan memiliki izin tetapi tidak memiliki dana).

Kemudian, risiko ketiga dalam tahap operasi rendah yaitu kinerja pembangkit menurun, produksi sumur make-up di bawah target.

Keempat, risikonya pembangunan PLTP terkait permasalahan lainnya antara lain perizinan, bencana alam/force majeure, paparan gas beracun, pencemaran lingkungan, kecelakaan kerja, kendala sosial, pandemi, terdapat kesenjangan tarif yang mempengaruhi keekonomian proyek.

"Itu yang terindikasi dari yang kita lihat daripada kita bisa mengembangkan pembangkit tenaga listrik untuk panas bumi yang perlu kita benahi," pungkasnya.

3 dari 3 halaman

Chevron dan Pertamina Geothermal Bentuk Usaha Patungan yang Kembangkan Panas Bumi di Lampung

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) atau PGE berkomitmen bersama Chevron New Energies Holdings Indonesia Ltd (Chevron) untuk mengembangkan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Way Ratai, Lampung, terus berlanjut. 

Sebagai wujud nyata, kedua pihak membentuk Joint Venture Company (JVC) yang dilanjutkan dengan pengurusan Izin Panas Bumi (IPB) serta perizinan lainnya. Hal ini disampaikan pada acara penandatanganan akta pendirian PT Cahaya Anagata Energy yang dilaksanakan di Grha Pertamina, Jakarta, Rabu, 6 Desember 2023.

Acara penandatanganan akta pendirian ini dilakukan oleh perwakilan Chevron New Energies Holdings Indonesia Ltd. Siddharth Jain dan Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, Julfi Hadi dan disaksikan oleh Chevron Indonesia Country Manager Wahyu Budiarto serta PTH. Direktur Utama Pertamina New & Renewable Energy (PNRE) Said Reza Pahlevy.

"WKP Way Ratai ini sangat strategis dan salah satu yang terbaik di Indonesia, posisi Way Ratai ini juga memiliki peran penting sebagai Hub di Sumatera sehingga bisa menambah nilai dari panas bumi dengan mengembangkan secondary product khususnya green hydrogen. Kami optimis kerja sama ini menjadi langkah maju yang positif," kata Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, Julfi Hadi dalam keterbukaan informasi, dikutip Sabtu (9/12/2023).

Ia melanjutkan, perusahaan patungan yang diberi nama PT Cahaya Anagata Energy dalam bahasa sansekerta, Anagata berarti masa depan yang mencerminkan komitmen berkelanjutan kedua belah pihak dalam mengembangkan Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) sebagai energi masa depan.

"Semua ini berfokus dan sejalan dengan agenda pemerintah untuk mencapai net zero emission 2060," ujarnya.

Video Terkini