Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memproyeksikan ekspor kelapa sawit akan mengalami penurunan lebih dari 4 persen pada 2024. Penurunan ekspor ini karena pertumbuhan produksi tidak tinggi.
Ketua umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono bahkan memprediksi peningkatan produksi paling tinggi tidak lebih dari 5 persen.
Baca Juga
"Jika mandatori B35 diperpanjang maka kebutuhan domestik Indonesia bisa mencapai 25 juta ton. Dengan demikian, Maka ekspor kelapa sawit di tahun 2024 akan berkurang 4,13 persen atau hanya sekitar 29 juta ton," kata Eddy dalam Pakistan Edible Oil Conference yang diselenggarakan di Karachi, Pakistan, di kutip Selasa (16/1/2024).
Advertisement
Lebih lanjut, ketua bidang luar negeri GAPKI, Fadhil Hasan, dalam paparannya mengenai industri kelapa sawit Indonesia menyatakan, selain program mandatori biodiesel, peningkatan konsumsi juga terjadi pada produk oleochemichal. Sehingga trend penurunan ekspor sebetulnya sudah terjadi sejak 2020 dengan tujuan ekspor utama yakni China, India, Uni Eropa, Pakistan dan Amerika Serikat.
Penyebab lainnya adalah produksi, Fadhil menyampaikan bahwa produksi kelapa sawit Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 2005.
“Periode 2005-2010 terjadi penurunan produksi sebesar 10 persen, lalu 2010-2015 turun 7,4 persen, kemudian periode 2015-2020 turun 3,2 persen dan seterusnya stagnan," ungkap Fadhil.
Indonesia Tetap Mendominasi
Adapun Global Research analyst, Thomas Mielke, menjelaskan penurunan produksi kelapa sawit memberikan pengaruh signifikan di pasar global di tengah semakin meningkatnya konsumsi dunia.
Menurutnya, Industri kelapa sawit Indonesia tetap akan mendominasi pasar minyak nabati global yang menguasai 32 persen produksi minyak nabati dan 53 persen ekspor di pasar global di tahun 2024.
“Peningkatan produksi kelapa sawit dalam setahun hanya sekitar 1,7 juta ton atau bahkan kurang. Jumlah ini jauh lebih rendah dari biasanya yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir sejak 2020 yakni 2,9 juta ton," kata Thomas.
Thomas menilai penurunan produksi utamanya dikarena turunnya produksi sawit Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar. Begitu pula adanya El Nino atau gelombang panas ekstrem di berbagai belahan dunia di akhir tahun 2023 tidak memberikan pengaruh lebih signifikan dibandingkan penurunan produksi kelapa sawit di Indonesia.
Advertisement
Harga Bisa Naik?
Hal senada diungkapkan analyst Glenauk economic, Julian Conway Mcgill. Menurut Mcgill, produksi yang rendah, program mandatori biodiesel dan juga ketidaktersediaan lahan akibat kebijakan moratorium pemberian izin kelapa sawit oleh pemerintah Indonesia memberikan dampak lebih besar terhadap produksi kelapa sawit secara total ketimbang isu El Nino.
Terkait dengan harga, Director Godrej Internasional ltd, Dorab mistri menyebutkan selain faktor pasokan kelapa sawit Indonesia di pasar yang menurun, kebijakan bioenergi atau biodiesel dan sustainable Aviation fuel (SAF) di berbagai negara juga turut menjadi faktor yang akan mempengaruhi harga pasar di tahun 2024.
Pasalnya hingga kini belum terlihat adanya potensi peningkatan produksi minyak nabati lain dengan kuantitas total yang setara.
Demikian dalam konferensi yang diselenggarakan untuk keenam kalinya tersebut, eskalasi geopolitik global tak kalah menjadi faktor yang mempengaruhi ketidakpastian harga minya nabati global di tahun 2024. Selain belum selesainya eskalasi di laut hitam, dampak dari memanasnya laut merah tentu saja harus diantisipasi dengan sangat cermat dampaknya terhadap supply dan juga ketersediaan akses logistik.