Sukses

7 Daerah Terapkan Tarif Pajak Hiburan 75%, Mana Saja?

Terdapat beberapa daerah yang telah menerapkan tarif pajak hiburan sebesar 75 persen, sebelum adanya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Liputan6.com, Jakarta Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Lydia Kurniawati Christyana, mengatakan terdapat beberapa daerah yang telah menerapkan tarif pajak hiburan sebesar 75 persen, sebelum adanya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Beberapa daerah tersebut memang sudah lama mematok tarif pajak hiburan 75 persen yang mengacu pada Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 28 Tahun 2009.

"Ini sama, pada saat mereka mengimplementasikan UU 28 itu memang mereka sudah memberikan tarif 75 persen," kata Lydia dalam media briefing Pajak Hiburan, di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (16/1/2024).

Dalam kesempatan tersebut, Lydia hanya menyebutkan tujuh daerah saja yang tercatat menerapkan tarif pajak hiburan 75 persen, diantaranya Kabupaten Siak (Riau), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi), Kabupaten Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan), serta Kabupaten Belitung Timur (Kepulauan Bangka Belitung).

Kemudian, ada juga Kabupaten Lebak (Banten), Kabupaten Grobokan (Jawa Tengah), serta Kota Tual (Maluku).

Kesenian dan Hiburan

Lebih lanjut, Lydia mengatakan Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa kesenian dan hiburan bukanlah suatu jenis pajak baru, sudah ada sejak Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Pada masa itu, objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan telah dipungut dengan nama pajak hiburan.

"Kita sampaikan ini bukan pajak baru, jasa kesenian dan hiburan itu sudah ada di UU 28 tahun 2009," pungkasnya.

2 dari 4 halaman

Inul Daratista Protes Pajak Karaoke Cs 40%-75%, Kemenkeu Beri Jawaban Menohok

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan merespon protes pengusaha atas pengenaan pajak diskotek, karaoke, kelab malam, bar, hingga spa mulai dari 40 persen sampai dengan 75 persen. Besaran pungutan pajak ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah atau UU HKPD.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, pengenaan besaran pajak hiburan 40 persen hingga 75 persen tersebut karena penikmat hiburan karaoke hingga spa tersebut berasal dari masyarakat kalangan tertentu. 

"Bahwa untuk jasa hiburan spesial tertentu tadi dikonsumsi masyarakat tertentu. Sehingga, tidak dikonsumsi oleh masyarakat secara terbuka atau masyarakat kebanyakan," ujar Lydia dalam Media Briefing di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (16/1).

Lanjutnya, pengenaan pajak hiburan khusus tersebut telah mendapatkan persetujuan dari DPR RI. Dalam proses pembahasan UU HKPD bersama DPR RI disepakati bahwa besaran pungutan pajak hiburan karaoke hingga spa mulai dari 40 persen hingga 75 persen.

"Jadi, dalam dinamika pembahasan bersama DPR maka ketemu lah angka segitu," ucap Lydia.

Selain itu, kinerja keuangan bisnis karaoke, diskotek, hingga spa juga telah berhasil pulih ke level sebelum pandemi. Lydia mencatat, pendapatan pajak daerah dari hiburan khusus tersebut mencapai Rp2,4 triliun pada 2019 lalu. Sedangkan, data internal untuk tahun 2023 berjalan telah terkumpul Rp2,2 triliun.

"Jadi, 2019 total pendapatan dari pajak hiburan adalah tertentu Rp2,4 triliun. Covid 2020 turun tuh terjun Rp787 miliar. Di 2021, makin turun Rp477 miliar. Lalu covid 2022, itu naik dari Rp 477 miliar menjadi Rp1,5 triliun. Dan sekarang sudah hampir mendekati sebelum covid, data kami di 2023  sementara itu Rp2,2 triliun," bener Lydia.

Lydia menyebut bahwa UU HKPD juga tetap membuka ruang bagi pelaku usaha diskotek, karaoke, hingga spa untuk mengajukan insentif bagi yang merasa kesulitan untuk membayarkan kewajiban pajaknya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 101 UU HKPD.

 

3 dari 4 halaman

Pasal 101 Ayat 3

Dalam pasal 101 Ayat 3 mengatur bahwa Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan, antara lain:

a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;

b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;

c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;

d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau

e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.

"Tapi, nantinya pelaku usaha bersangkutan diharuskan untuk mengajukan laporan keuangan ke pada masing-masing pemerintah daerah," pungkas Lydia.

 

4 dari 4 halaman

Hotman Paris Protes

Sebelumnya, Pengacara Hotman Paris protes tentang tingginya Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan spa.

Hotman menilai tingginya pungutan pajak industri hiburan tersebut justru mengancam kelangsungan pariwisata Indonesia.

"What? 40 sampai dengan 75 persen pajak? What? OMG (kelangsungan industri pariwisata di Indonesia terancam)," tulis Hotman Paris melalui akun Instagram pribadinya @hotmanparisofficial.

 Hotman secara khusus menekankan tarif pajak untuk jasa kesenian dan hiburan. Tertulis, "khusus jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 40 persen."

Setali tiga uang, penyanyi sekaligus pemilik rumah karaoke InulVizta, Inul Daratista juga turut melayangkan protes atas pengenaan pajak karaoke mulai dari 40 persen. Inul menilai kenaikan tarif pajak hiburan terlalu tinggi dan justru dapat mematikan usaha para pengusaha hiburan.