Liputan6.com, Jakarta Pajak hiburan naik dengan kisaran 40-75 persen menuai protes dari kalangan pengusaha, termasuk ada sebagian yang melayangkan gugatan terhadap aturan tersebut. Lantas, apakah pemerintah akan merevisi aturan tersebut?
Diketahui, artis kondang Inul Daratista hingga Hotman Paris turut bersuara mengenai tingginya pajak hiburan ini. Tercatat ada sekitar 22 pemohon yang turut serta melayangkan permohonan judicial review atas kenaikan pajak hiburan itu ke Mahkamah Konstitusi.
Aturan kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Merespons upaya hukum itu, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan pihaknya menyerahkan pada keputusan MK.
Advertisement
"Kalau judicial review akan menunggu keputusan MK-nya," ucap dia saat ditemui di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (17/1/2024).
Terkait revisi aturan, Susiwijono mengatakan tetap mengacu pada perkembangan proses hukum di MK. Kendati, dia juga menegaskan kalau UU HKPD sebagai payung hukum pajak hiburan naik jadi 40-75 persen sudah ditetapkan sejak 2022 silam.
"Kan ini undang-undang sudah ditetapkan di 2022 yang lalu, tinggal pelaksanaannya. Nanti tinggal nunggu keputusan di MK, kalau memang ada keputusan untuk mereview ya seperti biasa, kami kan juga menangani judicial review kan cukup banyak, Undang-Undang Cipta Kerja kan sedang proses sekian banyak JR juga disana," paparnya.
Berikan Kepastian
Merujuk pada penjelasan Kementerian Keuangan, Susiwijono sepakat kalau penerapan pajak hiburan berkisar 40-75 persen ini mempertimbangkan aspek kepastian hukum. Kemudian, pada penerapannya, Pemerintah Daerah bisa memberikan pengecualian pada beberapa aspek.
Dia melihat juga pada sisi lain bahwa bisnis hiburan ini memiliki porsi yang cukup besar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
"tapi prinsipnya inikan uu sudah yang lalu tinggal implementasi ya, namun demikian pak menko mengingatkan kembali kita tetap pikirkan, karena inikan di dalam komponen PDB kita sektor hiburan juga share-nya cukup tinggi ke PDB-nya, berbagai sektor yang disebut PBJT itu yang jasa tertentu itu, itu share-nya ke PDB juga cukup tinggi, harus kita jaga semuanya," urainya.
"Kemarin mengingatkan di dalam implementasinya sudah ada beberapa keluar perda, namun demikian di dalam pelaksanaan enforcement-nya segala nanti mempertimbangkan semua aspek. Kami sih berharap karena sektor itu share-nya ke PDB juga cukup tinggi nanti kita akan pertimbangkan bersama-sama," sambung Susiwijono Moegiarso.
Advertisement
Penjelasan Kemenkeu
Sebelumnya, Pemerintah buka suara mengenai pajak hiburan yang dipatok 40-75 persen. Kebijakan mengenai pajak hiburan ini bahkan diprotes oleh para pengusaha karaoke Inul Daratista.
Lantas, apa sebenarnya pemerintah memberlakukan pajak setinggi ini? Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJP Kemenkeu, Lydia Kurniawati Christyana mengungkapkan yang menjadi dasar penerapan pajak ini adalah demi keadilan.
Lydia menjelaskan, hal itu mempertimbangkan bahwa jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa pada umumnya hanya di konsumsi masyarakat tertentu.
Oleh karena itu, menurutnya perlu penetapan tarif batas bawah atas jenis tersebut guna mencegah penetapan tarif pajak yang race to the bottom atau berlomba-lomba menetapkan tarif pajak rendah guna meningkatkan omset usaha.
“Penetapan tarif, Pemerintah dan DPR telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, mendasarkan pada praktik pemungutan di lapangan, dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu dan perlu mendapatkan dukungan lebih kuat melalui optimalisasi pendapatan negara,” kata Lydia, Selasa (16/1/2024).
Pajak PBJT Justru Turun
Meski demikian dia menjelaskan penurunan tarif Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan secara umum justru turun, dari semula sebesar paling tinggi 35 persen menjadi paling tinggi 10 persen.
Tujuannya untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya seperti makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir sebagai bukti komitmen pemerintah mendukung pengembangan pariwisata dan menyelaraskan dengan kondisi perekonomian.
Advertisement