Sukses

Temuan Ombudsman: Penyusunan Data Penerima Bansos PKH Maladministrasi

Ombudsman Republik Indonesia menemukan sejumlah titik maladministrasi pada penyusunan data penerima bantuan sosial (bansos). Ketidaksesuaian ini terjadi dari tahapan awal hingga akhir terkait penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH).

Liputan6.com, Jakarta Ombudsman Republik Indonesia menemukan sejumlah titik maladministrasi pada penyusunan data penerima bantuan sosial (bansos). Ketidaksesuaian ini terjadi dari tahapan awal hingga akhir terkait penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH).

Tim Keasistenan Utama VI Ombudsman RI, Sobirin mengatakan maladministrasi terjadi mulai dari pengusulan data untuk disuplai ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

"Ombudsman menyimpulkan pada proses verifikasi dan validasi pemutakhiran data, penyaluran bantuan dan transformasi kepesertaan ini terjadi tindakan maladministrasi," ujar Sobirin dalam Diskusi Publik Bansos PKH: Tata Kelola dan Perbaikan ke Depan, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (18/1/2024).

Sedikitnya, ada tiga poin penting dalam temuan Ombudsman tadi. Pertama, penyimpangan prosedur pada tahapan pengusulan data ke DTKS antara lain tidak melalui tahapan musyawarah kelurahan/desa dimana merupakan kewenangan pemerintah daerah melalui desa/kelurahan untuk mengakomodasi dan melakukan pembaharuan data DTKS masyarakat yang ada di wilayahnya.

Kedua, tindakan tidak kompeten oleh petugas Dinas Sosial Kabupaten/Kota pada tahap verifikasi dan validasi data, dimana tidak memastikan data yang telah dikumpulkan atau diperbaiki dengan fakta di lapangan.

"Jadi mereka tidak melakukan verifikasi dan validasi di lapangan," ungkapnya.

Ketiga, tindakan tidak kompeten oleh verifikator pada setiap tingkatan dalam penetapan graduasi, pembaruan data, dan pemadanan data yang menyebabkan exclusion error.

"Dan ini cukup banyak dan lumayan banyak terjadi di setiap daerah," sambungnya.

 

2 dari 4 halaman

Usulan Ombudsman

Selanjutnya, Sobirin mengatakan ada sederet rekomendasi untuk bisa dijalankan oleh Kementerian Sosial terkait pelaksanaan bansos PKH ini. Pertama, membuat mekanisme proses updating DTKS yang berbasis usulan dalam musyawarah desa/kelurahan, diubah melalui mekanisme Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak (SPTJM) dari Kepala Desa atau Lurah berdasarkan konsultasi dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang dilaporkan setiap 6 bulan sekali dalam forum musrenbang setiap bulan Februari dan Musdes bulan Juli setiap tahunnya.

Kedua, membuat mekanisme verifikasi dan validasi lapangan terhadap data calon penerima manfaat yang dikembalikan oleh Pusdatin dan usulan DTKS melalui Dinas Sosial dengan dukungan anggaran yang dialokasikan dalam APBD.

Ketiga, memastikan proporsi pendamping dengan KPM yang seimbang dan memadai serta menyampaikan informasi graduasi kepada KPM yang bersangkutan dan hak sanggah untuk reaktivasi bagi peserta yang mengalami exclusion error berdasarkan assesment dari pendamping PKH.

"Ombudsman RI memberikan waktu selama 30 hari untuk dilakukan tindak lanjut terkait dengan pelaksanaan dari pada tindakan korektif yang tadi kita sampaikan. dan 30 hari kerja ini tentu kami membuka kesempatan koordinasi atau konsultasi dan kami juga membuka kesempatan untuk mungkin duduk bersama terkait dengan tindakan korektif yang nanti akan dilaksanakan tersebut," pungkasnya.

 

3 dari 4 halaman

Perjanjian Terikat

Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia menemukan adanya data penerima bantuan sosial (bansos) Program Keluarga Harapan (PKH) tidak dilakukan secara akurat. Salah satunya karena minimnya keterlibatan dalam musyawarah desa (musdes) atau musyawarah kelurahan (muskel).

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng meminta ada proses penguatan akuntabilitas pada aspek pengumpulan data penerima bansos dari tahapan awal. Tujuannya memastikan data tersebut memang memuat nama-nama yang berhak mendapatkan bantuan.

"Memang harus ada akuntabilitas di tingkat desa untuk memastikan nama yang diusulkan itu adalah nama-nama yang memang berhak dan nama-nama yang memang dia eligible," ujar Robert dalam Diskusi Publik Bansos PKH: Tata Kelola dan Perbaikan ke Depan, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (18/1/2024).

Sebagai salah satu solusinya, dia mengusulkan adanya perjanjian yang mengikat dengan kepala desa atau lurah untuk menjadi penanggung jawab mutlak data itu. Bahkan, jika dimungkinkan perjanjian itu memiliki kekuatan hukum.

 

4 dari 4 halaman

Tanggung Jawa Kepala Desa

Dengan begitu, kepala desa atau lurah bisa dikenai unsur pidana jika data penerima bansos ternyata bukan kelompok yang benar-benar membutuhkan.

"Kami kemudian berpikir tentang perlu mungkin surat tanggung jawab mutlak seorang kepala desa, dia harus menandatangani, dan itu terikat secara administrasi atau bahkan secara pidana kalau kemudian dia tidak akuntabel dalam memasukkan nama-nama, pada pengusulan maupun updateng DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) nya itu," tuturnya.

Robert menyadari usulan tersebut perlu dikonsultasikan dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Serta, dalam pelaksanaannya, bisa dilakukan pelaporan secara periodik.

"Tapi surat tanggung jawab mutlak ini harus berkonsultasi dengan BPD dan dilaporkan secara berkala, mungkin 6 bulan sekali dalam forum yang ada di desa itu, apakah musdes atau musrenbang kalau memang itu masih bisa dilakukan," ungkap Robert.