Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia (RI) mencatat ada lebih dari 20 ribu laporan yang masuk sepanjang 2023. Kemudian, seluruh laporan tadi diproses melalui berbagai tahapan.
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih mengungkapkan usai penerimaan laporan, seluruhnya akan diverifikasi untuk menentukan posisi pemeriksaan. Pada tahapan ini, melihat sejumlah substansi yang masuk ke Ombudsman dan tidak menjadi kewenangan Ombudsman.
Baca Juga
"Tahun 2023 kita telah menerimam pengaduan masyarakat lebih dari 20 ribu laporan seluruh Indonesia, kemudian setelah itu, proses verifkiasi laporan artinya tidak seluruh pengaduan masyarakat itu kemudian menjadi kewenangan ombudsman, kalau jadi kewenangan ombudsman, kita lanjutkan jadi tahapan kedua yaitu pemeriksaan laporan," ujar Najih dalam Konferensi Pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (19/1/2024).
Advertisement
Dia menjelaskan, setelah dilakukan pemilahan laporan tadi, masih tercatat ada ribuan laporan yang jadi kewenangan Ombudsman. Pada tahapan pemeriksaan ini, pihaknya berhasil menyelesaikan 8.348 laporan.
"Dan di dalam tahap pemeriksaan ini ada tahapan-tahapan yaitu proses penerimaan, yaitu memanggil para saksi para pelapor, terlapor yang kemudian disana ada proses bisa jadi selesai pada tahap pemeriksaan, bisa selesai tahap monitoring (tahap lanjutan). Di tahap pemeriksaan yang itu dapat diselesaikan tadi, 8.348," urainya.
Jika laporan perkara tidak selesai pada tahapan ini, laporan tadi dialihkan ke tahap resolusi dan monitoring. Disini, merupakan penyelesaian dengan upaya yang lebih serius.
"Nah proses ketiga ini adalah proses ujung dari penyelesaian laporan di Ombudsman dimana pada tahap resolusi monitoring ini menunjukkan ada proses yang tidak bisa dilaksanakan di tahap hasil pemeriksaan yang dilakukan tim pemeriksa, baik itu di pusat maupun di perwakilan," ujarnya.
"Sampai 2023 keasistenan utama resolusi dan monitoring telah menwrima pelimpahan laporan sebanyak 283 laporan yang terdiri dari 93 laporan masih dalam proses resolusi monitoring dan 198 laporan telah diselesaikan dengan persentase capaian 68 persen selesai. Sedangkan yang sedang dalam proses 32 persen," sambung Najih.Â
Â
Penyusunan Data Penerima Bansos Maladministrasi
Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia menemukan sejumlah titik maladministrasi pada penyusunan data penerima bantuan sosial (bansos). Ketidaksesuaian ini terjadi dari tahapan awal hingga akhir terkait penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH).
Tim Keasistenan Utama VIÂ Ombudsman RI, Sobirin mengatakan maladministrasi terjadi mulai dari pengusulan data untuk disuplai ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Ombudsman menyimpulkan pada proses verifikasi dan validasi pemutakhiran data, penyaluran bantuan dan transformasi kepesertaan ini terjadi tindakan maladministrasi," ujar Sobirin dalam Diskusi Publik Bansos PKH: Tata Kelola dan Perbaikan ke Depan, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Sedikitnya, ada tiga poin penting dalam temuan Ombudsman tadi. Pertama, penyimpangan prosedur pada tahapan pengusulan data ke DTKS antara lain tidak melalui tahapan musyawarah kelurahan/desa dimana merupakan kewenangan pemerintah daerah melalui desa/kelurahan untuk mengakomodasi dan melakukan pembaharuan data DTKS masyarakat yang ada di wilayahnya.
Advertisement
Tidak Kompeten
Kedua, tindakan tidak kompeten oleh petugas Dinas Sosial Kabupaten/Kota pada tahap verifikasi dan validasi data, dimana tidak memastikan data yang telah dikumpulkan atau diperbaiki dengan fakta di lapangan.
"Jadi mereka tidak melakukan verifikasi dan validasi di lapangan," ungkapnya.
Ketiga, tindakan tidak kompeten oleh verifikator pada setiap tingkatan dalam penetapan graduasi, pembaruan data, dan pemadanan data yang menyebabkan exclusion error."Dan ini cukup banyak dan lumayan banyak terjadi di setiap daerah," sambungnya.
Rekomendasi
Selanjutnya, Sobirin mengatakan ada sederet rekomendasi untuk bisa dijalankan oleh Kementerian Sosial terkait pelaksanaan bansos PKH ini.Â
Pertama, membuat mekanisme proses updating DTKS yang berbasis usulan dalam musyawarah desa/kelurahan, diubah melalui mekanisme Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak (SPTJM) dari Kepala Desa atau Lurah berdasarkan konsultasi dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang dilaporkan setiap 6 bulan sekali dalam forum musrenbang setiap bulan Februari dan Musdes bulan Juli setiap tahunnya.
Kedua, membuat mekanisme verifikasi dan validasi lapangan terhadap data calon penerima manfaat yang dikembalikan oleh Pusdatin dan usulan DTKS melalui Dinas Sosial dengan dukungan anggaran yang dialokasikan dalam APBD.
Ketiga, memastikan proporsi pendamping dengan KPM yang seimbang dan memadai serta menyampaikan informasi graduasi kepada KPM yang bersangkutan dan hak sanggah untuk reaktivasi bagi peserta yang mengalami exclusion error berdasarkan assesment dari pendamping PKH.
Â
Advertisement